Perempuan dan Pembangunan




        Gender merupakan konsepsi yang diakui sebagai penyebab ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berada pada status yang lebih rendah. Di Indonesia pendekatan gender telah diambil untuk peningkatan status perempuan melalui peningkatan peran dalam pembangunan.


            Pergeseran peran perempuan yang semula pada kerja reproduktif ke produktif semakin lama menunjukkan gejala peningkatan. Secara kuantitas, perempuan memang lebih unggul dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi untuk berperan serta dalam pembangunan. Kualitas sumber daya perempuan juga tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki.


Sex, Gender dan Pembangunan

Gender merupakan konsep yang sangat berbeda dengan sex (jenis kelamin). Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan.

Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu :

1. Teori Nurture

            Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan.

2. Teori Nature

            Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. tedapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah.

3. Teori Keseimbangan

            Pandangan ini tidak mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.


            Secara historis terdapat tiga masa yang dapat dijadikan bahan kajian perkembangan dinamika gender, yaitu masa awal kelompok masyarakat berkembang, masa negara dan kolonialisasi serta masa kapitalisme.

            Pada awal kehidupan manusia yang ditandai dengan terbentuknya kelompok-kelompok kecil dengan kegitan utama berburu dan meramu, perbedaan peran laki-laki dan perempuan telah tampak. Laki-laki berperan dalam kegiatan berburu sedangkan perempuan berperan dalam kegiatan meramu. Perbedaan peran ini tidak mengindikasikan adanya ketimpangan gender, namun lebih ditekankan pada peran reproduktif perempuan.

            Sebelum Dekade Wanita PBB dikumandangkan pada tahun 1975-1985, posisi dan peran perempuan telah diperhatikan oleh pemerintah negara dunia ketiga dan oleh organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF. Peranan perempuan pada masa itu terbatas pada upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan tidak dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Peran perempuan tidak memungkinkan untuk mendapatkan penghargaan berupa materi, semua kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dianggap bernilai sosial, sehingga pada masa 1950-1960-an perempuan memiliki peran dan tanggung jawab pada kegiatan sosial tersebut. Pembangunan dengan ciri modernisasi, terutama di bidang pertanian dengan introduksi teknologi dan mekanisasi menempatkan laki-laki sebagai agen kemajuan dan modernisasi. Perempuan ditempatkan pada peran reproduktif yaitu mengelola rumah tangga.

            Kebijakan pembangunan kemudian berlanjut hingga pada akhirnya memunculkan konsep WID (Woman in Development). Konsep ini memusatkan diri pada peranan produktif perempuan yang telah mencoba merealisasikan tujuan pengintegrasian perempuan ke dalam pembangunan dalam berbagai cara, yaitu memulai program khusus perempuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi. Proyek yang berakar pada konsep WID ini dikenal sebagai proyek peningkatan pendapatan. Tujuan utama proyek berbasis WID ini adalah meningkatkan peran, akses, kontrol dan benefit perempuan dalam pembangunan.

 Perempuan dan Kerja

             Kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kerja produktif dan kerja reproduktif. Perempuan selama ini diidentikkan dengan kerja reproduktif. Kerja reproduktif merupakan kerja yang berhubungan dengan kegiatan rumah tangga serta tidak menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Pada masyarakat dengan basis pertanian, perempuan terlibat dalam pekerjaan produktif seperti mengelola lahan dan ternak. Selain itu, perempuan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif seperti mengasuh anak, memasak, mencuci dan sebagainya. Hal ini bertolak belakang dengan laki-laki yang hanya melaksanakan kerja produktif dan tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif.

Penetrasi kapitalis yang ditandai dengan munculnya industri serta transformasi pertanian yang merubah pertanian subsisten atau semi-subsisten menuju pertanian berorientasi bisnis telah menyebabkan perubahan dalam pola relasi gender. Moda produksi kapitalis didasarkan pada tiga bentuk transformasi sosial ekonomi, yaitu :

Pemisahan antara produsen dari alat produksi dan subsistensi.
Munculnya formasi kelas sosial yang menguasai alat produksi, yang dikenal sebagai kelas kapitalis atau borjuis.
Komoditisasi tenaga kerja.

Komoditisasi tenaga kerja ini kemudian melahirkan adanya kelas pekerja atau proletar. Kelas ini dicirikan oleh ketidakadaan akses terhadap alat produksi serta sehingga untuk bertahan hidup, kelas ini harus menjual tenaganya kepada kaum pemilik alat produksi. Kapitalisme menyebabkan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang diperjual belikan seperti halnya dengan komoditas lainnya. Nilai tenaga kerja dicerminkan dari upah yang didapatkan.

Posisi perempuan pada masyarakat modern kapitalis dicirikan oleh:

-          Perempuan didentikkan dengan kerja rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari kerja ini tidak diberikan imbalan nilai.
-          Perempuan merasa sebagai tenaga kerja sekunder dalam bidang produktif.
-          Partisipasi perempuan terbatas pada kerja produktif sosial.
-          Konsentrasi perempuan dalam sektor ekonomi utama dan level utama tenaga kerja.
-          Upah perempuan yang relatif lebih rendah.
-          Posisi perempuan pada kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis.

Pembangunan pertanian yang ditandai dengan revolusi hijau mempunyai efek negatif terhadap perempuan pedesaan. Teknologi baru yang diintroduksikan melalui pembangunan pertanian ala revolusi hijau telah menyebabkan tidak diakuinya lagi pengetahuan lokal yang selama ini dikuasai oleh perempuan. Program pembangunan pertanian juga lebih ditujukan kapada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sedikit demi sedikit kedudukan perempuan tergeser dan menjadikan pertanian menjadi pekerjaan yang “maskulin”.



            Penelitian Widodo (2006), menunjukkan bahwa perempuan pada usahatani lahan kering memiliki peran dalam pekerjaan produktif dan reproduktif. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan aktivitas antara laki-laki dan perempuan pada bidang pekerjaan reproduktif disebabkan oleh masih kuatnya budaya patriarki Jawa. Sedangkan perbedaan aktivitas dalam pekerjaan produktif lebih disebabkan perbedaan biologis dimana laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan. Faktor agama ternyata tidak memiliki pengaruh dalam perbedaan aktivitas, akses, kontrol dan benefit laki-laki dan perempuan.

            Perempuan di perkotaan sebagian besar masih menjadi tenaga kerja di bidang industri dan sektor informal lainnya. Berbagai permasalahan pada perempuan pekerja di daerah perkotaan hingga kini tak kunjung usai. Mulai dari eksploitasi terutama kewajiban lembur serta masih kurangnya kesejahteraan yang diberikan oleh pengusaha hingga ancaman gangguan fisik maupun psikis bagi pekerja perempuan.






DAFTAR RUJUKAN

 Anonymous, 2001. Bunga Rampai Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Jakarta.

Bemmelen, Sita van. 1995. “Gender dan Pembangunan; Apakah yang Baru?” dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan. TO Ihromi (Ed). Jakarta. Yayasan Obor.

Eviota, Elizabeth Uy. 1992. The Political Economy of Gender. Women and The Sexual Division of Labaour in The Philippines. London. Zed Books Ltd.

Holzner, Brigitte. 1997. “Perubahan Sosial; Sebuah Pengantar” dalam Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta. Grafiti.

Widodo, Slamet. Dinamika Gender Pada Usahatani Lahan Kering. Pamator Volume 2 nomor 1. Januari 2006.



                                                                               











Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad