Lahan Sawah
Degradasi
lahan merupakan proses kerusakan tanah dan penurunan produktivitas karena
tindakan manusia atau penyebab lain yang ditandai, antara lain, oleh menurunnya
kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah serta mendangkalnya bidang olah
tanah.
Aplikasi
pemupukan kimia secara tidak berimbang adalah penyebab utama terjadinya kerusakan
tanah. Lahan sawah merupakan ekosistem yang relatif stabil, namun saat ini
kondisi ekosistem tersebut cenderung mengalami penurunan kualitas yang cukup
signifikan. Keadaan ini dapat dilihat dari adanya gejala leveling-off (meningkatnya
penggunaan pupuk tanpa diimbangi oleh peningkatan hasil gabah, rendahnya
efisiensi pemupukan, terjadinya kerusakan fisik dengan gejala tanah cepat retak
saat kemarau dan jenuh air/banjir saat hujan).
Lahan Kering
Lahan
kering memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam penyediaan bahan pangan.
Namun belakangan ini, degradasi lahan kering semakin luas, khususnya karena alih
fungsi lahan dan terjadinya lahan kritis. Penyebab degradasi lahan di lahan
pertanian tanpa kegiatan konservasi disebabkan oleh erosi, eksploitasi,
pencemaran (penggunaan bahan kimia), dan kegiatan penambangan.
Kurang
berhasilnya program rehabilitasi lahan antara lain disebabkan oleh keterbatasan
pengkajian pada aspek teknologi dan sangat kurang pada aspek kebijakan.
Disamping itu, pelestarian sumber daya lahan juga terabaikan dan kepemilikan
lahan dan fragmentasi lahan patut dicatat sebagai bagian yang menghambat
pelaksanaan program rehabilitasi lahan kering. Perbaikan lahan kering perlu
dilakukan untuk menanggulangi erosi dan memelihara kualitas tanah dengan teknik
konservasi, rehabilitasi, konservasi air dan irigasi suplemen.
Degradasi
lahan kering terus meningkat dari tahun ke tahun (baik dari segi luasan maupun
tingkat degradasinya). Alih fungsi lahan menyebabkan pertanian terdesak ke
lahan
marginal. Penyebab degradasi kualitas lahan kering saat ini bukan hanya erosi
dan ekploitasi lahan yang tidak terkendali, namun juga disebabkan oleh
penggunaan senyawa TOP atau pencemaran limbah industri di beberapa areal
pertanian yang berdekatan dengan kegiatan industri.
Lahan Gambut
Secara
alamiah ekosistem gambut merupakan ekosistem yang stabil, bahkan ketebalannya
bisa bertambah, namun bila kondisi alaminya terganggu, gambut sangat mudah
terdegradasi. Oleh karena itu, gambut dapat digolongkan sebagai ekosistem yang rapuh.
Kecenderungan perluasan pemanfaatan lahan gambut terjadi secara signifikan di
beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas. Pemanfaatan lahan gambut ini
harus dilakukan dengan cermat berdasarkan hasil kajian karakterisasi dan
evaluasi lahan yang mendalam. Lahan gambut yang boleh dikembangkan untuk
pertanian hanya lahan yang subur dengan kedalaman <3 m, tidak memiliki
substratum pasir kuarsa dan tingkat kematangan fibrik.
Emisi
GRK dan pengaruh negatif dari pengelolaan gambut yang tidak berkelanjutan hanya
dapat dikurangi dengan kebijakan pengembangan lahan gambut yang didasarkan atas
prinsip: (a) konservasi hutan gambut yang masih tersisa, (b) restorasi sistem
hidrologi hutan rawa gambut terdegradasi dan tutupan vegetasi lainnya, (c)
perbaikan sistem pengelolaan air pada daerah yang sudah dibuka (umumnya untuk
perkebunan).
Hutan
Deforestasi
dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu
Indonesia sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Sampai saat
ini, Indonesia masih mengalami deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan
penurunan penutupan vegetasi hutan. Pada periode 1985-1997, laju deforestasi
dan degradasi mencapai 1,8 juta ha/tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi
peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan, yaitu mencapai rata-rata
sebesar 2,8 juta ha/tahun, namun menurun kembali antara tahun 2000-2005 menjadi
1,08 juta ha.
Penyebab
utama deforestasi adalah adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk
pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain. Meningkatnya jumlah penduduk
dan kebutuhannya mempercepat terjadinya konversi diatas. Penggunaan kawasan
hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan
hasil hutan tidak memerhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.
Sementara
itu, meningkatnya degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran
dan perambahan hutan, dan pembalakan liar (illegal logging)
yang didorong oleh meningkatnya permintaan kayu dan hasil hutan lainnya.
Mangrove
Kerusakan
ekosistem hutan mangrove terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat terhadap lahan bernilai ekonomi, sehingga membuka wilayah pantai/sungai
untuk usaha tambak ikan. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan hutan mangrove
melalui kegiatan rehabilitasi lahan harus dimulai dengan menyediakan bibit yang
baik.
Luas
hutan mangrove di Indonesia tercatat sekitar 8,6 juta ha (3,8 juta ha terdapat
di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan). Kerusakan hutan
mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta ha (44,7 persen) dan di luar
kawasan hutan 4,2 juta ha (87,5 persen). Antara tahun 1982-1993 telah terjadi
pengurangan hutan mangrove seluas 513.670 ha atau 46,8 ha per tahun untuk
pemanfaatan lain.
Degradasi
ekologi mangrove bukan hanya menyebabkan hilangnya nilai ekonomi hutan mangrove
(misalnya didapatnya hasil fauna laut yang bersumber ekonomi masyarakat pantai),
namun juga jasa lingkungan, diantaranya stok karbon pada tegakan (above ground C-stock), penghasil nutrisi bagi perairan pantai, dan habitat
untuk pelestarian satwa liar.
Padang Penggembalaan
Ekosistem
padang penggembalaan ternyata juga mengalami penurunan, baik kuantitas (luas
areal) maupun kualitas, akibat perubahan alih fungsi lahan. Kerusakan padang
penggembalaan ditunjukkan oleh kerusakan vegetasi akibat gulma yang tidak
terkendali
atau rendahnya respons tanah terhadap pemupukan. Untuk meningkatkan daya dukung
pengembangan peternakan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan perluasan
lahan penggembalaan baik melalui rehabilitasi lahan maupun pembangunan lahan
penggembalaan pada areal yang belum termanfaatkan.
Faktor Penyebab Degradasi
Paling
tidak ada tiga faktor yang saling berinteraksi satu dengan lainnya yang mempengaruhi
proses degradasi yaitu peningkatan jumlah penduduk, konspirasi pengusaha dan
birokrasi, dan perubahan kebijakan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi yang
kesemuanya menyebabkan pergeseran penggunaan lahan yang pada gilirannya menyebabkan
degradasi fungsional suatu wilayah seperti DAS dan eksploitasi yang berlebihan
yang menyebabkan berkurangnya kualitas lahan untuk mendukung produksi.
Eksploitasi
yang Berlebihan
Faktor-faktor
penyebab degradasi lahan cukup beragam, meliputi degradasi sifat fisik, kimia,
dan/atau biologi tanah. Degradasi lahan yang termasuk ke dalam katagori kemunduran
sifat fisik tanah, diantaranya adalah yang disebabkan oleh tumbukan butirbutir hujan
atau erosi, pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat dan mesin pertanian atau
proses eluviasi, banjir dan genangan. Sedangkan degradasi lahan yang disebabkan
oleh kemunduran sifat kimia, diantaranya yang disebabkan oleh proses
penggaraman (salinization), pemasaman (acidification), dan pencemaran (pollution)
bahan agrokimia, serta pengurasan
unsur hara tanaman.
Degradasi
lahan yang terjadi di Indonesia umumnya oleh erosi yang dipercepat (accelerated) oleh
aktivitas manusia, sehingga erosi yang terjadi mengakibatkan menurunnya kualitas
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, berkurangnya hasil tanaman, serta
hilangnya bahan organik dan unsur-unsur hara tanah karena hanyut terbawa oleh
aliran permukaan.
Erosi
hujan tersebut menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas yang relatif lebih
subur dibandingkan dengan tanah lapisan di bawahnya. Apabila terjadi hujan,
tanah lapisan atas akan kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah dalam
jumlah besar bersama-sama dengan tanah yang tererosi dan hanyut terbawa oleh
aliran permukaan. Kehilangan hara dan bahan organik tanah yang besar juga dapat
terjadi pada areal hutan yang baru dibuka untuk pertanian, perkebunan,
pemukiman/transmigrasi.
Selain
terjadi kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah, erosi yang disebabkan oleh
hujan dapat menyebabkan memadatnya permukaan tanah dan menurunnya kapasitas infiltrasi
tanah, sehingga volume aliran permukaan meningkat, dan berdampak pada meningkatnya
debit sungai dan banjir. Dengan demikian kerusakan tanah pertanian yang
disebabkan oleh erosi hujan, dan mengakibatkan menurunnya kualitas tanah dan manusia
dalam mengelola lahannya. Sudirman dan Vadari (2000) memperlihatkan perbedaan
sifat-sifat tanah, seperti ketebalan solum, ketebalan tanah lapisan atas (topsoil), kandungan
C-organik tanah dan kepadatan tanah, dapat digunakan sebagai indikator tingkat
kerusakan tanah, yang pada akhirnya sifat-sifat tanah tersebut dapat
mempengaruhi produksi/hasil tanaman.
Perubahan
Kebijakan
Selama
tiga dasawarsa pada masa orde baru, “Trilogi Pembangunan” (pertumbuhan, stabilitas,
dan pemerataan berkeadilan) dirumuskan dan dilaksanakan sebagai kebijakan pembangunan
yang pro-rakyat miskin. Meskipun berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan
meningkatkan pendapatan perkapita hingga 5%/tahun, namun kelemahan pelaksanaan kebijakan
ini, yakni sangat kurangnya tata-pemerintahan dan etika bisnis yang baik (good governance and good private governance) telah mengakibatkan rapuhnya sendi-sendi pembangunan
ekonomi nasional pada saat itu.
Dalam
era Reformasi setelah tahun 1998, kebijakan pembangunan tidak lagi didasarkan
atas “Trilogi Pembangunan”, tetapi lebih menekankan upaya pertumbuhan dan
stabilitas dengan orientasi pada ekonomi liberal yang tidak sesuai dengan UUD 1945
Pasal 33, yakni sistem ekonomi kerakyatan. Tingkat kemiskinan tahun 2009 ternyata
masih lebih tinggi dari tingkat kemiskinan tahun 1996, sebelum krisis ekonomi.
Ketimpangan
distribusi pendapatan semakin tinggi antar golongan masyarakat dan antar wilayah.
Di sektor pertanian, jumlah petani miskin bertambah. Dalam era ini pula perampasan/penguasaan
lahan masyarakat petani lokal (land
grabbing) makin marak untuk perluasan
perkebunan kelapa sawit dan pengembangan pola perkebunan tanaman pangan (food estate)
yang difasilitasi pemerintah dengan mengeluarkan berbagai payung hukum, termasuk
PP No. 18 Tahun 2010 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pangan. Peraturan ini
mengatur alokasi lahan yang akan dikembangkan untuk food estate bagi
perusahaan tanpa menjelaskan bagaimana akses petani lokal dan masyarakat miskin
pedesaan pada pengembangan lahan baru. Food
estate yang dikembangkan oleh perusahaan
swasta nasional bekerjasama dengan swasta asing akan menumbuhkan enclave kemakmuran
pihak lain di lingkungan masyarakat miskin.
Untuk
mengimbangi ketidakadilan di sektor pertanian, seharusnya reforma agraria segera
dilakukan, sebagaimana disebutkan dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001. Konsistensi
berbagai peraturan perundang-undangan yang baru (UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan) dengan UUPA 1960 dan TAP MPR IX Tahun 2001 perlu dikaji lebih
mendalam dan diuji kesesuaiannya dengan UUD 1945.
Upaya Pemulihan dan Pelestarian
Secara
teknis diperlukan upaya upaya pemulihan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi
lahan namun diperlukan komitmen politik dan kebijakan yang mendukung termasuk
di dalamnya harmonisasi kelembagaan peningkatan kompetensi, penguatan ketangguhan
sosial, penggalakan ekonomi hijau dan perbaikan tata kelola.
Pemulihan
Kesuburan, Konservasi dan Rehabilitasi
Upaya
penanggulangan lahan kritis dikategorikan kedalam 3 (tiga) keadaan cakupan,
yaitu usaha penanggulangan lahan kritis yang bersifat nasional, bersifat wilayah
dan bersifat lokal. Integrasi satuan sistem daerah aliran sungai (DAS) dan
pendekatan wilayah administrasi (kabupaten/kota) merupakan paradigma baru dalam
membangun sistem monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Untuk mempercepat
identifikasi dan karakterisasi lahan kritis dapat digunakan teknologi
penginderaan jauh (remote sensing) yang mampu mengetahui luas dan penyebaran lahan kritis
secara seri (temporal).
Pemulihan
kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemetaan tanah yang terbagi dalam tiga
kategori degradasi, yakni rendah, sedang, dan tinggi, kemudian dilakukan
remediasi
dengan berbagai teknik (termasuk mikroba). Perbaikan kesuburan tanah dapat dilakukan,
antara lain pemupukan dengan kuantitas tertentu, pada masing-masing tanah yang
terdegradasi menurut klasifikasi kerusakannya. Penggunaan pupuk organik juga diusulkan
untuk mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.
Usaha
konservasi dan rehabilitasi lahan perlu terus digalakkan. Belajar dari kekurangberhasilan
program-program sebelumnya, maka selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomi dan
budaya petani perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan program konservasi dan
rehabilitasi lahan.
Selain
data potensi lahan, data aktual ketersediaan lahan untuk pertanian termasuk perlu
terus diperbaharui. Pengembangan lahan kering tetap diprioritaskan di luar
kawasan hutan, namun tidak menutup kemungkinan dapat memanfaatkan lahan hutan
yang terlantar untuk pengembangan pertanian yang aman dari aspek lingkungan
(berbasis tanaman tahunan). Pemanfaatan hutan terlantar untuk pertanian tanaman
tahunan akan memecahkan dua permasalahan sekaligus, yaitu peningkatan
ketersediaan lahan untuk pertanian (yang cenderung semakin menurun) dan
terlaksananya rehabilitasi lahan hutan terlantar.
Sesuai
komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% tahun 2020 mendatang, maka perlu diambil langkah-langkah kongkrit
pemanfaatan gambut untuk pertanian dengan berbagai kebijakan yang mengarah pada
pengurangan emisi untuk mencegah kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan
global, antara lain:
(a)
untuk menghindari ketidakpastian data dan memperkuat posisi tawar dalam
mekanisme REDD, maka lahan gambut perlu dipetakan secara menyeluruh dan rinci,
(b)
perlu dibuat payung hukum yang jelas agar ada kepastian dalam pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian, disertai proteksi hutan lindung yang ketat dengan
berpedoman pada azas manfaat secara ekonomi dan aspek kelestarian lingkungan,
(c)
perlu digalakkan program rehabilitasi lahan, saluran, pintu air, dan penyumbatan
kanal, dan
(d)
memberlakukan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran yang mampu menekan emisi
GRK sebagai imbalan untuk melakukan zero
burning oleh petani.
Rehabilitasi
hutan mangrove dibutuhkan untuk melestarikan alam pantai atau sungai yang mampu
memberikan nilai ekonomi dan nilai lingkungan. Hutan mangrove, oleh karena itu
juga sebagai sumber pendapatan masyarakat pantai dari satwa liar dan dari berbagai
hasil yang diperoleh dari kegiatan silvifishery. Untuk melestarikan fungsi ekosistem mangrove telah
dilakukan upaya rehabilitasi daerah pesisir pantai sejak tahun 1970an, namun
keberhasilannya sangat rendah. Sejak tahun 1999 hingga 2003 rehabilitasi baru terealisasi
seluas 7.890 ha atau sekitar 1.578 ha/tahun. Rendahnya daya tumbuh mangrove, selain
akibat gangguan hama, gangguan fisik pantai, juga karena gangguan manusia.
Oleh
karena itu, salah satu unsur yang tidak boleh diabaikan adalah partisipasi
masyarakat dalam rehabilitasi yang dapat dirancang dalam model silvifishery. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk mempertahankan dan memulihkan ekosistem hutan, akan
tetapi upaya tersebut belum cukup. Data menunjukkan bahwa laju degradasi lahan
dan hutan yang masih relatif lebuh tinggi yakni sekitar 2,8 juta ha/tahun,
sedangkan rehabilitasinya hanya 400.000-500.000 ha/tahun dengan tingkat
keberhasilan sekitar 50%. Meningkatnya kesadaran global sehubungan dengan upaya
mengatasi perubahan iklim dan peran hutan yang penting dalam mitigasi perubahan
iklim, dapat dijadikan momentum perbaikan menuju pengelolaan hutan lestari.
Berbagai mekanisme internasional seperti AR CDM dan REDD dapat dimanfaatkan
untuk kelestarian hutan.
Peningkatan
Kapasitas Menanggulangi Degradasi
Dengan
perubahan paradigma pembangunan menjadi desentralisasi dan otonomi daerah
diikuti oleh reformasi dan demokratisasi, perlu dilakukan perubahan paradigma pembangunan
dengan lebih fokus pada pemberdayaan kelembagaan pedesaan.
Pembangunan
pada dasarnya diawali dengan membangun keterampilan dan pengetahuan sumber daya
manusia melalui pemberdayaan berbasis masyarakat, seperti metode Sekolah Lapangan.
Metode ini membangun kembali kebersamaan, saling mempercayai dalam demokrasi.
Sekolah Lapangan Petani adalah wadah dimana petani saling belajar bersama fasilitator
yang bukan pengajar; petani tidak diajari, sebagaimana halnya pada sekolah umum,
tetapi difasilitasi.
Masyarakat
secara aktif menyusun perencanaan setiap langkah yang akan dilakukan yang
berhubungan dengan upaya pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya. Sebenarnya metode
ini bukanlah hal yang baru, karena kearifan lokal masyarakat sudah
menerapkannya.
Melalui
pemberdayaan ditanamkan kembali kepercayaan bahwa yang melaksanakan pembangunan
adalah masyarakat, di mana peran pemerintah adalah menyediakan pelayanan,
fasilitasi, informasi, menyusun aturan main, memonitor, dan mengawasi pelaksanaan
sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama. Dalam kerangka memfasilitasi
pembangunan, pemerintah membangun prasarana publik dengan partisipasi masyarakat
mulai dari perencanaan dan pelaksanaannya.
Perubahan
lingkungan strategis yang dihadapi pembangunan pertanian di daerah pada masa
kini dan masa mendatang berupa: desentralisasi manajemen pembangunan, otonomi
daerah, tuntutan pelaksanaan good
governance, globalisasi, meningkatnya biaya produksi
sebagai dampak meningkatnya harga gas dan minyak bumi, maka diperlukan adanya
terobosan baru dalam pembangunan pertanian yang difokuskan pada integrasi sinergis antara sumber daya manusia (modal SDM)
bersama kelembagaannya (modal
sosial), sumber daya alam (modal natural),
dengan dukungan teknologi maju ramah lingkungan berbasis agro-ekologi (modal teknologi)
dan kelembagaan keuangan dan pembiayaan (modal
finansial) serta prasarana irigasi pertanian
dan pedesaan (modal fisik). Upaya ini hanya akan berhasil bila adanya dukungan politik difasilitasi
oleh kebijakan ekonomi makro yang lebih kondusif. Inilah yang dimaksudkan dengan
Revitalisasi Pertanian berupa Pertanian
Berkelanjutan berbasis ekologi dengan menyatukan
usahatani tanaman dan usaha ternak (usahatani-terpadu) ramah lingkungan untuk
mendukung Kehidupan Berkelanjutan (sustainable
livelihood).
Tantangan
yang dihadapi dimasa saat ini dan masa depan cukup berat sebagai dampak krisis
energi dan pangan dunia, yang diperkirakan harga energi dan pangan dunia akan
tetap tinggi. Untuk perlu ditumbuhkan kemandirian petani dan kemandirian sistem
usahatani. Sistem usahatani yang perlu dikembangkan disamping hemat energi juga
hemat pemakaian air irigasi dan ramah lingkungan. Kesemuanya menghendaki kuat
sumber daya manusia dan mandirinya organisasi kelembagaan petani.
Komitmen
Politik dan Harmonisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam
konteks sumber daya alam, politik pengelolaan DAS di Indonesia masih menonjolkan
politik birokrasi yang antara lain menyangkut pembagian kewenangan antara pusat
dan daerah. Sebagai contoh, berkembangnya organisasi birokrasi pengelolaan sumber
daya air dengan dibentuknya berbagai balai dan balai besar yang mengelola
wilayah sungai. Pendekatan yang dilakukan tetap sektoral yang dituangkan dalam
berbagai program birokrasi pusat. Keadaan ini seolah memaksakan kekuasaan pusat
di daerah karena diduga terbentur oleh berbagai rambu-rambu otonomi daerah.
Komitmen
politik pengelolaan sumber daya alam diperlukan untuk mengintegrasikan berbagai
pilar (ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan) yang didukung elemen-elemen
pokok, seperti demokrasi, sosio-tekno-ekologi yang berpihak pada kepentingan
rakyat. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam harus
mengutamakan harmonisasi, keselarasan, keadilan, dan keserasian dari berbagai kepentingan
untuk mencapai keberhasilan pembangunan semesta (sosial, ekonomi, teknologi,
budaya). Dalam kaitan dengan upaya pemulihan DAS di Indonesia, diperlukan pilar
politik yang menopang berbagai kebijakan pembangunan seperti demokrasi ekonomi termasuk
pemberdayaan ekonomi rakyat, praktik-praktik ekonomi hijau,
membangun ketangguhan sosial dan ekologi, melaksanakan reforma agraria, dan hak
guna air yang berpihak pada ekonomi dan kepentingan rakyat.
Restorasi
koordinasi program dan kegiatan perlu segera dilaksanakan dengan menjunjung
aspek kemerataan proporsional, ikatan tekno-sosial, dan gaya manajemen aspiratif
yang meningkatkan kualitas komunikasi multi-arah. Harmonisasi kelembagaan DAS
pada semua tingkatan pemerintahan dibutuhkan untuk menata kembali seluruh stakeholders, sehingga
mampu mempersempit kesenjangan status struktural antar kelembagaan pengelola
sumber daya air dan DAS.
Kelembagaan yang harmonis diharapkan
dapat tumbuh dari terbentuknya lembaga pengelola DAS nasional dengan otoritas
yang dimilikinya. Badan Pengelola DAS Nasional mengkoordinasikan seluruh
Lembaga Pengelola DAS Lokal dengan otoritas masing-masing yang selaras dan
searah secara lestari dan berkesinambungan.
Memperkuat
Ketangguhan Sosial
Modal
sosial dan perbaikan pengelolaan ekosistem dapat diintegrasikan ke dalam pendekatan
pemberdayaan masyarakat perdesaan secara komprehensif. Tujuannya adalah membangun
daya saing masyarakat perdesaan secara berkelanjutan, baik di bidang kemandirian
dan produktivitas kerja kolektif, peningkatan kesejahteraan dan keadilan, maupun
terwujudnya kesadaran bahwa perusakan ekosistem dan lingkungan adalah bagian dari
public enemy yang harus diperangi bersama. Konservasi lingkungan saat
ini tidak hanya dipandang dari sudut ekosistem saja, namun juga mencakup
tantangan teknis dan administratif dengan aspek politik yang semakin meningkat.
Masyarakat perlu diberi tahu dan dibujuk untuk mengambil manfaat ekosistem
secara benar serta dididik untuk memahami sangsi yang diberikan bila mereka tidak
menaati peraturan terkait pelestarian ekosistem. Guna menerapkan pemikiran ini diperlukan
penguasaan informasi dan keterampilan teknis serta strategi bimbingan yang tepat.
Ketangguhan
sosial memiliki makna paralel dengan ketangguhan ekologi. Ketangguhan sosial
adalah kemampuan suatu kelompok atau sistem sosial (keluarga, komunitas, dan masyarakat)
untuk bertahan terhadap berbagai trauma yang disebabkan oleh perubahan yang
mengganggu. Gangguan sosial dapat dipicu oleh kekuatan-kekuatan politik,
sosial, ekonomi dan lingkungan. Suatu kelompok sosial yang memiliki ketahanan
sosial tidak hanya menunjukkan keterikatan (kohesifitas) yang kuat dalam
kondisi gangguan, namun juga mampu menyerap gangguan tersebut dan menyesuaikan
diri setelah gangguan tersebut hilang.
Menggalakan
Ekonomi Hijau
Ekonomi
hijau memiliki peluang agar kegiatan ekonomi, termausk pertanian, menjadi lebih
ramah lingkungan. Metoda pemasaran yang digunakan masih bisa dilakukan secara konvensional
tetapi penampilan produk harus lebih menarik dan manfaatnya bisa dirasakan oleh
konsumen. Umumnya harga produk ekonomi hijau lebih mahal karena tanggungan biaya
sosial, yaitu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Pemerintah
perlu mengambil bagian dalam menggalakkan ekonomi hijau agar kesadaran
masyarakat, baik produsen maupun konsumen, semakin luas. Penegakan peraturan
secara tegas harus dilakukan agar terjadi efek jera terhadap pelanggar
kelestarian lingkungan. Sertifikasi organik sangat diperlukan agar konsumen
lebih percaya terhadap produk ekonomi hijau. Perlu upaya lebih jauh agar
sertifikasi produk bukan hanya menilai proses produksi, tetapi juga menguji
kandungan produk tersebut. Implementasi ekonomi hijau perlu dilakukan dengan
membuka peluang kerjasama secara berkelompok karena sangat sulit bagi petani
secara perorangan yang umumnya berskala kecil.
Perbaikan Tata
Pengelolaan
Kesalahan
pengelolaan air dan sungai tidak hanya disebabkan oleh tindakan fisik sistem sosial
yang memiliki ketergantungan terhadap air dan ekosistem DAS di sepanjang
sungai, namun juga karena melemahnya kesadaran kolektif masyarakat akan peran
penting air dan upaya pelestarian sumber dayanya bagi kehidupan mereka.
Perubahan nilai dan norma sosial dan kultural tradisional telah bergeser,
bahkan tersingkirkan oleh nilai-nilai kultur modern yang lebih berorientasi
kesejahteraan ekonomi dan keamanan finansial. Ukuran sukses dan pencapaian
individu yang secara tradisional diukur dengan nilai sosial dan kekukuhan
terhadap norma dan moral, kini lebih diukur dengan pencapaian ekonomi dan finansial.
Upaya pelestarian sumber daya dan ekosistem yang secara tradisional merupakan tanggung
jawab kolektif dan bersifat sosio-teknis telah berubah menjadi tanggung jawab sepihak
kelompok yang seringkali tidak memiliki akses tradisional, namun memiliki kepentingan
yang bersifat tekno-ekonomi. Hal ini telah mengubah pola akses terhadap lahan
dan ekosistem yang semula bersifat kolektif menjadi bersifat kepemilikan dan
akses kelompok atau individu. Perubahan sikap sosial tersebut bersifat irreversible atau
tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula dan terus berubah secara gradual ke
bentuk adaptif atau transformatif. Sikap baru tersebut juga dapat bersifat
permanen atau terus berubah.
Konsep
kelembagaan pengelola air dan DAS meliputi tata peraturan formal dan informal,
norma dan dasar kognitif, serta sistem-sistem simbolik yang tersusun untuk mengatur
penggunaan, distribusi dan menentukan status sumber daya air dalam suatu kelompok
masyarakat. Konsep-konsep tersebut di atas secara garis besar dapat dibagi
dalam aspek kebijakan, hukum, dan administrasi yang keseluruhannya mencakup
elemen-elemen formal dan informal. Isu hukum air mengacu pada status legal air,
hak atas air, mekanisme dan resolusi konflik, kemungkinan pertentangan antara
hukum, keanekaragaman legal dan kehadiran atau ketiadaan peraturan
administratif dalam mengimplementasikan hukum tersebut. Aspek kebijakan
meliputi prioritas penggunaan, biaya, kemampuan desentralisasi atau
sentralisasi, kemampuan partisipasi dan koordinasi dengan kebijakan lain. Aspek
administrasi adalah struktur organisasi pengelolaan air, termasuk pembiayaan, kepegawaian,
kapasitas dan penghimpunan dana.
Proses
pembelajaran dan peningkatan kesadaran kolektif harus melibatkan masyarakat secara
penuh sejak tahap diagnostik sampai tahap verifikasi dan pemantauan serta
evaluasi. Proses penyadaran kolektif dan pembelajaran tata pengelolaan DAS dan
air dapat melibatkan figur kepemimpinan (leadership)
atau figur lain dari dalam dan/atau
luar sistem sosial setempat yang berfungsi sebagai katalis dalam proses
perubahan perilaku dan sikap kolektif.
Sumber:
Comments
Post a Comment