Kemiskinan - pengertian, ukuran dan cara menghitungnya

  
       Kuncoro (1997) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimal. Sedangkan menurut Bank Dunia (dalam Haughton 2012), kemiskinan adalah kurangnya kesejahteraan. Kesejahteraan berasal dari kemampuan untuk menjalankan suatu fungsi dalam masyarakat.

       Dengan demikian, kemiskinan timbul apabila masyarakat tidak memiliki kemampuan-kemampuan utama, tidak memiliki pendapatan atau tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, memiliki kesehatan yang buruk, merasa tidak aman, memiliki kepercayaan diri yang rendah atau suatu perasaan yang tidak berdaya, atau tidak memiliki hak seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan terkait, tetapi berbeda dengan ketimpangan dan kerentanan. Definisi kemiskinan dapat dipandang dari berbagai sudut antara lain:

1)     Kemiskinan menurut standar hidup layak. Dalam kaitan ini seseorang atau satu rumah tangga dikategorikan miskin apabila seseorang atau rumah tangga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sesuai dengan standar hidup layak.
2)   Kemiskinan menurut tingkat pendapatan. Dalam pandangan ini, kemiskinan terjadi disebabkan oleh kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.

      Bila dicermati, kedua pengertian tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan hidup layak yang disebut basic needs. Kebutuhan minimum ini disebut garis kemiskinan atau poverty line.

      Garis kemiskinan dapat diartikan sebagai tingkat pendapatan atau pengeluaran yang ditetapkan, dimana bila pendapatan atau pengeluaran seseorang berada di bawah tingkatan tersebut, ia dapat dinyatakan miskin (Melbourne Institut dalam Maipita, 2014).

       Menurut Todaro (2006), kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep kemiskinan yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep pengukuran kemiskinan yang tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.

       Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup, yang merupakan suatu ukuran-ukuran tetap (tidak berubah) dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup, tidak dapat dipenuhi.

       Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi dimaksud.

       Berdasarkan garis kemiskinan, dapat dihitung ukuran-ukuran kemiskinan antara lain:
1)      tingkat kemiskinan (poverty headcount index),
2)      indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index), dan
3)      indeks keparahan kemiskinan atau squared poverty gap index (Haughton, 2012; Maipita, 2014).

       Sejauh ini, ukuran yang paling banyak digunakan adalah tingkat kemiskinan (poverty headcount index), yang hanya mengukur bagian atau kelompok penduduk yang dianggap sebagai masyarakat miskin.

       Poverty headcount atau sering disebut headcount index merupakan ukuran kemiskinan yang sangat sederhana namun sangat sering digunakan (Morduch, 2005 dalam Maipita, 2014). Headcount index hanya mengukur kelompok penduduk yang dianggap sebagai masyarakat miskin, dinyatakan dengan lambang P₀, sebagaimana Persamaan 2.10 (Haughton, 2012).



       Headcount index setidaknya mempunyai tiga kelemahan pokok, karena:
1)      tidak mempertimbangkan intensitas kemiskinan,
2)      tidak menunjukkan seberapa miskin (tingkat kemiskinan) masyarakat, dan
3)   tidak menghitung per individu, tetapi rumah tangga. Dengan demikian untuk memperoleh hasil yang lebih realistis, sesuai dengan tujuan menghitung kemiskinan, maka dikembangkan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan dan beberapa indeks lain.

       Ada beberapa ukuran kemiskinan yang pernah diterapkan di Indonesia, diantaranya ukuran yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

       Pada intinya BPS mengukur kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan, membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan (poverty line). Sedangkan data yang digunakan adalah data makro hasil survei sosial dan ekonomi nasional (SUSENAS). BPS sejak 1984 melaporkan tingkat kemiskinan melalui perhitungan tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar yang meliputi konsumsi dasar pangan dan konsumsi dasar non pangan (sandang, pendidikan dan kesehatan).

       Selain konsep pemenuhan kebutuhan dasar seperti yang digunakan oleh BPS, terdapat model pengukuran kemiskinan lainnya yang pernah digunakan di Indonesia, seperti model konsumsi pangan setara beras oleh Sayogyo dan model kesejahteraan keluarga yang dipelopori oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN).



Sumber:
http://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/6fdcf13438d4598d1fb41bbdf70eacf0.pdf

Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad