Lahan Pertanian - Alih Fungsi Lahan pertanian, Dampak Alih Fungsi Lahan, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan, Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan
Sumberdaya lahan merupakan salah satu
sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai
tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis
bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan
seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan
transportasi.
Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi
masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani,
lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi
pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal.
Bagi pemerintah, lahan merupakan
kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak
kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan
terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta,
dan pemerinntah dalam memanfaatkan lahan.
Lahan pertanian merupakan lahan yang
diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki
banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan
bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula
disebut sebagai personal use values.
Manfaat ini dihasilkan dari hasil
eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan
pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau
manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan
merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk
dalam kategori ini.
Salah satu lahan pertanian yang banyak
terdapat di Indonesia khusunya Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah
adalah suatu tipe penggunaan lahan yang untuk pengelolaannya memerlukan
genangan air. Oleh karena itu, lahan sawah selalu memiliki permukaan datar atau
yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat 2003).
Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu
(1996) dalam Sumaryanto
et al (2005)
bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi
dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air,
pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah
rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.
Alih Fungsi
Lahan pertanian
Alih fungsi lahan pertanian bukan
merupakan hal yang baru. Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya
kesempatan untuk menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin
banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan
pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan
lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan
lahan yang seharusnya beralih ke penggunaan non-pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian ke
non-pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergatungan
masyarakat terhadap sektor pertanian. Konversi lahan atau alih fungsi lahan
adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga
permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan
tataguna tanah (Ruswandi 2005).
Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi
atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian
sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan
umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung
perkembangan sektor industri dan jasa.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat
erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan
antara penawaran dan permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan
tak terbatas menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor
faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah,
faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu,
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk,
perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan,
pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan
nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.
Sumaryanto dan Tahlim (2005)
mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek.
Pertama, alih fungsi secara langsung oleh
pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3:
a)
untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat
tinggal,
b)
dalam rangka meningkatkan pendapatan
melalui alih usaha,
c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan
rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini terjadi
disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar.
Dampak alih fungsi lahan dengan pola
ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.
Kedua, alih fungsi yang diawali dengan
alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan
memanfaatkannya untuk usaha nonpertanian atau kepada makelar. Secara empiris,
alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas,
terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi
(pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya
berlangsung cepat dan nyata.
Alih fungsi lahan dapat bersifat
permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi
teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan
bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan
tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada
tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan
permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.
Dampak Alih
Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Terkonsentrasinya pembangunan perumahan
dan industri di Pulau Jawa menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu
sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor
non-pertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga
menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih
fungsi lahan, antara lain:
1. Berkurangnya luas sawah yang
mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada
pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang
mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke
non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap
seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap
pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan
prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan
pembangunan perumahan maupun indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena
kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah
diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan
menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama
di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan
tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau
Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya.
Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak
negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan
nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat
lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya perubahan
budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas.
Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi
lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung.
Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan
pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan
natural lanskap, dan masalah
lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan
ke wilayah tepi kota.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian
juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan
non-petanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian.
Menurut Ruswandi et al (2007) secara faktual alih fungsi lahan
atau konversi lahan menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya
lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan
untuk budidaya pertanian semakin sempit.
Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi
lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa
implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang
menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk
menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan
yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran
kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Laju penggunaan lahan akan semakin
meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya
permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke
non-pertanian.
Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor
yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor
yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang
tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu
faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.
Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan
sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi,
pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana
tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan
pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan
sarana pemukiman, dan sebaran
lahan sawah.
Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak
langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman,
perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan
kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta
peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan
dipinggiran kota.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan
sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat
pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak
tanah, harga tanah dan lokasi tanah.
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi
dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap
perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah
pengkotaan. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat
dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi
dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa
dan sektor non-pertanian lainnya.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor
yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian
antara lain:
1.
Faktor Kependudukan. Pesatnya
peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu,
peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan
permintaan lahan.
2.
Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor
nonpertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan
oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah
dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang
terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya.
3.
Faktor sosial budaya, antara lain
keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian,
sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4.
Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka
pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional
secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk
penggunaan tanah nonpertanian.
5.
Lemahnya sistem perundang-undangan dan
penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.
Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil
kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih
fungsi lahan pertanian sawah, yaitu:
1)
Faktor Eksternal adalah faktor-faktor
dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih
fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian,
2)
Faktor-faktor Internal adalah kondisi
sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan
lahan, dan
3)
Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.
Utomo (1992) memaparkan bahwa secara
umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola
pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi
pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undangundang Pokok
Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah.
Menurut Winoto (1996) dalam hasil
penelitiannya alih fungsi lahan sawah ditentukan oleh faktor-faktor yang
berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam
land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar
sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan
menjelaskan 32,17 persen dan faktor demografis hanya
menjelaskan 8,75 persen.
Peraturan
Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun
1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA
ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang
sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk:
1.
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa.
2.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional
yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
ialah:
1.
Kebijakan privatisasi pembangunan
kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah
memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam
pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme
pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan
sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan
dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2.
Kebijakan pemerintah lainnya yang
sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan
pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan
ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
3.
Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan
deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan
Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam
pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan
sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri,
permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.
Landasan Hukum dan Kebijakan alih
fungsi lahan pertanian selain UUPA, antara lain:
a.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
b.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang. Undangundang ini merupakan penggantian dari
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa
RTRW mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan
pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut
secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat.
c.
Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun
2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
d.
Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun
1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b)
yang berbunyi: ” tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan
yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan
tujuan pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil langkah-langkah
pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi, maka Kepala Kantor
Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak
diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai
keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya”.
e.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun
1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan
berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna
tanah meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian
fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”.
Sumber:
Comments
Post a Comment