Pengertian Perusahaan - menurut undang-undang dan pendapat para ahli


          Istilah “perusahaan” merupakan istilah yang menggantikan istilah “pedagang” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 s/d 5 WvK lama. Istilah perusahaan yang menggantikan istilah pedagang mempunyai arti yang lebih luas. Banyak orang dahulu menjalankan perusahaan dalam pengertian menurut S. 1938 No. 276, tetapi tidak termasuk dalam pengertian pedagang menurut Pasal 2 KUHD lama.

          Berbagai sarjana mengemukakan pengertian tentang perusahaan, seperti Molengraaff, sebagaimana dikutip R. Soekardono, menyatakan bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke luar untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memeperniagakan/memperdagangkan, menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.

        Senada dengan Molengraaff adalah pendapat yang dikemukakan oleh Polak, sebagaimana dikutip Abdulkadir Muhammad, yang menyatakan bahwa baru dapat dikatakan ada perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan.

        Pendapat Polak ini menambahkan unsur “pembukuan” pada unsur-unsur lain seperti yang telah dikemukakan oleh Molengraaff. Perusahaan, menurut pembentuk Undang-Undang adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba. Kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk mencari keuntungan tersebut termasuk kegiatan ekonomi.

        Rumusan-rumusan definisi perusahaan di atas diperkuat oleh banyak ahli di bidang Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, seperti Sri Redjeki Hartono yang menyatakan bahwa kegiatan ekonomi pada hakekatnya adalah kegiatan menjalankan perusahaan, yaitu suatu kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan yang dimaksud harus dilakukan :

1) Secara terus menerus dalam pengertian tidak terputus-putus;
2) Seacara terang-terangan dalam pengertian sah (bukan illegal); dan
3) Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan, baik
untuk diri sendiri atau orang lain.

        Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan memberi definisi perusahaan sebagai berikut :

Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”.

        Definisi tersebut jika dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh Molengraaff dan Polak dapat dikatakan lebih sempurna, karena dalam definisi tersebut terdapat tambahan adanya bentuk usaha (badan usaha) yang menjalankan jenis usaha (kegiatan dalam bidang perekonomian), sedangkan unsur-unsur lain terpenuhi juga.

        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dalam Pasal 1 Angka 1 dijelaskan bahwa :

perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia”.

        Apabila kedua definisi yang disebut dalam kedua undang-undang tersebut dibandingkan, maka terdapat perbedaan sebagai berikut.

        Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 menggunakan rumusan “menjalankan setiap jenis usaha”, sedangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 menggunakan rumusan “melakukan kegiatan” (kegiatan berarti mengandung pengertian yang sangat umum dan luas, tanpa ada pembatasan dalam bidang ekonomi);

       Meskipun rumusan perusahaan sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1997 sangat umum dan luas namun karena undangundang tersebut berkenaan dengan perusahaan, maka dapat diartikan bahwa kata “kegiatan” juga diartikan/dimaksudkan dalam bidang perekonomian.

        Definisi-definisi tentang perusahaan di atas agak berbeda dengan definisi yang diberikan dalam beberapa undang-undang, seperti dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Perbedaan terletak pada tujuannya, yaitu bahwa dalam kedua undangundang tersebut perusahaan tidak mesti harus mencari keuntungan tetapi juga termasuk yang bertujuan dalam bidang sosial.

        Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan adalah :

(1) Setiap badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”;

        Dalam Undang-Undang tersebut dimasukkan atau dikategorikan sebagai perusahaan adalah usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perbedaan definisi ini terjadi karena usaha-usaha sosial tersebut menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya disamakan, dan tidak berarti sama.

        Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 1 Angka 4 dijelaskan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak baik milik swasta maupun milik negara.

       Di samping istilah perusahaan, terdapat istilah lain yang terkait dengan perusahaan, yaitu pelaku usaha. Istilah Pelaku usaha tersebut sepadan dengan istilah pelaku bisnis dan pelaku ekonomi.  Pelaku usaha adalah subjek yang melakukan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi.

        Pelaku bisnis adalah subjek yang melakukan kegiatan bisnis sama dengan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi adalah subjek yang menjalankan/melakukan kegiatan ekonomi, yang dapat berupa memproduksi barang dan atau jasa, atau melakukan distribusi barang atau jasa.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian pelaku usaha dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 :

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

        Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa termasuk dalam pengertian pelaku usaha adalah perusahaan, Badan Usaha Milik Negara, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

        Dari pengertian di atas mengandung makna bahwa yang termasuk pelaku usaha tidak hanya produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan/atau jasa, tetapi juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.

        Pelaku ekonomi atau pelaku usaha atau pelaku bisnis sebagaimana diuraikan di atas pada dasarnya terdiri atas kemungkinan-kemungkinan yaitu:

1.   Pelaku ekonomi orang perorangan secara pribadi yang melakukan kegiatan ekonomi pada skala yang sangat kecil dengan kapasitas yang juga sangat terbatas dan terdiri atas para wirausahawan pada tingkat yang paling sederhana;
2.   Pelaku ekonomi badan-badan usaha bukan badan hukum (Firma dan atau CV) dan badan-badan usaha badan hukum yang bergerak pada kegiatan ekonomi dengan skala usaha dan modal dengan fasilitas terbatas, pelaku ekonomi ini juga merupakan pelaku ekonomi dengan kapasitas terbatas, baik modal maupun teknologi;
3.    Pelaku ekonomi badan-badan usaha badan hukum yang dapat meliputi koperasi dan perseroan terbatas, pelaku ekonomi ini biasanya bergerak pada bidang usaha yang bersifat formal, sudah memiliki atau memenuhi persyaratan-persyaratan teknis dan non teknis yang lebih baik dari pada pelaku ekonomi bukan badan hukum;
4.   Pelaku ekonomi badan usaha badan hukum dengan kualifikasi canggih dengan persyaratan teknis/non teknis, termasuk persyaratan kemampuan finansial yang cukup dan didukung dengan sumber daya manusia yang profesional sesuai dengan bidangnya.

        Menurut Sri Redjeki Hartono pelaku-pelaku ekonomi tersebut, jika distratifikasi sesuai dengan kemampuan permodalannya, kemampuan akses pasar dalam dan luar negeri serta jumlah tenaga kerjanya dapat digambarkan seperti ragaan di bawah ini.


Baca Juga: Bentuk-bentuk Perusahaan di Indonesia 
                   Tanggung Jawab Perusahaan
                   Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Sumber:
http://eprints.umk.ac.id/333/3/BAB_II.pdf

Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad