Kriteria Sistem Pertanian Berkelanjutan - Keberlanjutan Secara Ekonomi, Keberlanjutan Ekologi, Keadilan Sosial dan Kesesuaian dengan Budaya Lokal




        Secara garis besar Zamor (1995) mengemukakan kriteria sistem pertanian berkelanjutan, yakni:

1. Keberlanjutan Secara Ekonomi

        Pola pertanian yang dikembangkan bisa menjamin infestasi dalam bentuk tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan petani, dan hasil yang didapat petani mencukupi kebutuhan keluarganya secara layak. Keberlanjutan ekonomi berarti juga meminimalkan atau bahkan meniadakan biaya eksternal dalam proses produksi pertanian. Dalam poin keberlanjutan ekonomi ini, masih banyak terlihat bahwa petani (dan pertanian) kita belum sustain secara ekonomi dalam pengelolaan pertaniannya. Sebagai contoh, di lapangan kita banyak menjumpai petani yang harus (terus-menerus) berutang menjelang musim tanam (untuk biaya produksi dan alat). Ketergantungan petani atas input dari luar (terutama pupuk dan pestisida) adalah bukti paling nyata.

        Jadi kita harus memulai (saat ini juga) memperkenalkan kepada para petani kita beberapa alternatif model pertanian, sehingga kemandirian petani lebih terjamin, selain itu juga ramah lingkungan. Di beberapa tempat lain, sistem pertanian hutan-tani (agroforestry) justru dapat menjadi jalan keluar.

2. Keberlanjutan Ekologi

        Keberlanjutan ekologis adalah upaya mengembangkan agroekosistem agar memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kurun waktu yang lama melalui pengelolaan terpadu untuk memelihara dan mendorong peningkatan fungsi sumber daya alam yang ada. Pengembangan sistem juga berorientasi pada keragaman hayati (biodiversity).

3. Keadilan Sosial dan Kesesuaian dengan Budaya Lokal

         Selain berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan, syarat mutlak sistem pertanian berkelanjutan adalah keadilan sosial, dan kesesuaian dengan budaya lokal. Yakni penghargaan martabat dan hak asasi individu serta kelompok untuk mendapat perlakuan adil. Misalnya adanya perlindungan yang lebih tegas atas hak petani dalam penguasaan lahan, benih dan teknologi lokal yang sering “dibajak” oleh kaum pemodal.

        Sistem yang harus dibangun juga menyediakan fasilitas untuk mengakses informasi, pasar dan sumberdaya yang terkait pertanian. Hal mana harus menjamin “harga keringat petani” untuk mendapat nilai tukar yang layak, untuk kesejahteraan keluarga tani dan keberlanjutan modal usaha tani. Khususnya akses atas lahan harus kembali dievaluasi dalam rangka menegakkan keadilan, dengan tanpa membedakan jenis kelamin, posisi sosial, agama dan etnis.

        Contoh adanya ketimpangan keadilan adalah (dalam konvensi di Indonesia) bila istri melakukan transaksi hak atas tanah, oleh Notaris akan dimintakan surat kuasa dari suaminya. Sementara itu, budaya pertanian lokal sering kali dilecehkan. Misalnya, sistem ladang berpindah orang Dayak sering dituduh merusak lingkungan (yang benar, orang Dayak menggilirkan lahan secara berputar/siklus, bukan berladang berpindah-pindah). Padahal sistem itu justru melestarikan lingkungan dan sudah teruji berabad-abad. Namun kebiasaan orang Dayak menggulirkan siklus lahan ini dijadikan kambing hitam atas dosa lingkungan dari jaringan penjarah kayu serta penjarah hutan hak ulayat suku.


Baca Juga:

Sumber:

Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad