Sejarah Usahatani



Pertanian di Indonesia diawali dengan sistem ladang berpindah-pindah, dimana masyarakat menanam apa saja, hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kemudian sistem bersawah di temukan, orang mulai bermukim ditempat yang tetap, tanaman padi yang berasal dari daerah padang rumput dan kemudian juga diusahakan di daerah-daerah hutan dengan cara berladang yang berpindah diatas tanah kering. Dengan timbulnya persawahan, orang mulai tinggal tetap disuatu lokasi yang dikenal dengan nama “kampong” walaupun usaha tani persawahan sudah dimulai, namun usaha tani secara “berladang yang berpindah-pindah” belum ditinggalkan.

Di Jawa, sejak VOC menguasai  di Batavia kebijakan pertanian bukan untuk tujuan memajukan pertanian di Indonesia, melainkan hanya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi VOC. Tahun 1830, Van Den Bosch sebagai gubernur Jendral Hindia Belanda mendapatkan tugas rahasia untuk meningkatkan ekspor dan muncullah yang disebut tanam paksa. Sebenarnya Undang-undang Pokok Agraria mengenai pembagian tanah telah muncul sejak 1870, namun kenyataanya tanam paksa baru berakhir tahun 1921. Setelah Indonesia merdeka, maka kebijakan pemerintah terhadap pertanian tidak banyak mengalami perubahan. Pemerintah tetap mencurahkan perhatian khusus pada produksi padi dengan berbagai peraturan seperti wajib jual padi kepada pemerintah. Namun masih banyak tanah yang dikuasai oleh penguasa dan pemilik modal besar, sehingga petani penggarap atau petani bagi hasil tidak dengan mudah menentukan tanaman yang akan ditanam dan budidaya terhadap tanamannya pun tak berkembang.

Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau yang dimasyarakat petani dikenal dengan program BIMAS. Tujuan utama dari program tersebut adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Pada tahun 1998 usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan karena adanya krisis multi-dimensi. Pada waktu itu telah terjadi perubahan yang mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke pertanian. Keterpurukan pertanian Indonesia akibat krisis moneter membuat pemerintah dalam hal ini departemen pertanian sebagai stake holder pembangunan pertanian mengambil suatu keputusan untuk melindungi sektor agribisnis yaitu “pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.

Di propinsi lain di Indonesia, sektor pertanian di wilayah Aceh Darussalam mulai berkembang sejak tahun 1607-1636 melalui kegiatan perdagangan hasil bumi sektor pertanian seperti cengkeh, kopra, dan pala kepada pedagang asing, dan pada tahun 1960 selama masa penjajahan Belanda, sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama masyarakat Aceh. Meskipun sektor pertanian mulai meningkat pada tahun 1960 dan menyusut peranannya sejak tahun 1980-an, namun masih sangat penting kedudukannya bagi rakyat Aceh karena kesanggupannya menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk dan merupakan penunjang pendapatan utama mereka.

Pada masa yang akan datang, Propinsi Aceh masih tetap dan berusaha mempertahankan surplus produksi pangannya karena masih terbukanya peluang perluasan areal baru, walaupun begitu pengelolaan usaha taninya secara umum masih belum bisa dikatakan berjalan secara optimal.

Untuk sektor pertanian di daerah Bengkulu telah hadir sebelum abad ke-15, dan produksinya hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan setempat.. Sementara pada jaman penjajahan Belanda, kegiatan pertanian rakyat lebih ditekankan dengan diadakannya sistem tanam paksa kopi. Dalam perkembangannya penggunan lahan produktif pada masa pelita I sampai III, ternyata masih belum optimal yang hasilnya hanya mencapai 6,65% dati total luas daerah. Pertanian tersebut masih dikembangkan dengan tradisional berupa pertanian ladang, sawah, kebun campuran dan pekarangan.

Dilihat dari kondisinya sampai saat ini banyaknya kendala yang masih dihadapi sektor pertanian Bengkulu diantaranya:

ü   Terbatasnya lahan yang mendapat pengairan teknis sempurna dan masih banyaknya lahan yang mempunyai sifat derajat keasaman tinggi.
ü   Intensifikasi umum lebih besar daripada intensifikasi khusus sehingga produktifitas per satuan luas masih rendah.
ü   Lambatnya pelaksanaan percetakan sawah baru dan lokasi pencetakan sawah yang sudah dilaksanakan terpencar-pencar.
ü   Lahan usaha tani umumnya bergelombang.
ü   Tingkat pengetahuan petani rata-rata masih rendah terutama dalam pengelolaan usaha tani antara lain karena kurangnya informasi pasar dan pengetahuan petani dalam pemasaran hasil pertanian.

Perkembangan sektor pertanian di wilayah Lampung diawali didaerah Tulang Bawang sebagai penghasil komoditas lada hitam. Sejak Jaman Kerajaan Sriwijaya, Kota Menggala dan alur Sungai Tulang Bawang tumbuh menjadi pusat perdagangan beragam komoditas, khususnya lada hitam. Seiring dengan merosotnya pamor lada hitam, sektor pertninnya digantikan oleh komoditas karet. Perkebunan karet ini selain dimiliki perkebunan swasta, mayoritasnya adalah milik rakyat. Hasil olahan karet tersebut didistribusikan ke daerah Palembang.

Sementara ubi kayu merupakan komoditas utama tanaman pangan. Sebagai salah satu sentra produksi ubi kayu di Lampung yang mampu menunjang perekonomian rakyat. Namun, sekarang harganya yang semakin turun dan eksport yang berkurang karena sedikitnya permintaan membuat tanaman singkong tidak lagi diminati. Pamor ubi kayu pun kini tenggelam beriringan dengan turunnya minat Negara pengimpor yang dahulunya sering mengekspor.

Di daerah Tulang Bawang, perkebunan besar tebu dan pabrik gula, perkebunan sawit dan singkong, serta industri pengolahan hasilnya juga dimiliki lebih banyak oleh daerah ini dibandingkan daerah lain di Lampung. Oleh karena itu, puluhan ribu petani yang ikut serta dalam pola kemitraan benar-benar menyandarkan hidupnya pada perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut.

Lain halnya dengan daerah Karawang – Jawa Barat, keadaan pertanian di daerah ini sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang. Ladang sebagai bentuk miniatur dan hutan tropis telah lama dikembangkan. Begitu juga dengan model sawah yang telah dikembangkan oleh kerajaan.

Seiring dengan datangnya Belanda ke Indonesia adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dipasarkan di Dunia dan di daerah Karawang ini pertanian berkembang adalah persawahan dengan jenis tanaman padi. Sejak tempo dulu Karawang terkenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, luas lahan sawah 93.590 hektar atau sekitar 53% dari luas kabupaten dan tersebar diseluruh kecamatan, dan pada tahun 2001 kabupaten ini menghasilkan 1,1 juta ton padi sawah,selain padi sawah juga dihasilkan padi ladang 1.516 ton dari 740 hektar lahan di kecamatan pangkalan.

Sampai saat ini Produksi padi Karawang tidak lepas dari sistem pengairan yang memadai. Saluran irigasi di Karawang  terdiri dari Saluran Induk Tarum Utara dari Bendungan Walahar, Saluran Induk Tarum Barat dan Saluran Induk Tarum Timur dari Bendungan Curug. Selain tiga saluran irigasi tersebut daerah ini memiliki saluran irigasi yang sumber airnya berasal dari Bendungan Barugbu, dan Pundog di Kabupaten Purwakarta.

Di daerah Yogyakarta sendiri, disimpulkan dalam tiga jaman, yaitu sebagai berikut:

a.       Masa sebelum perubahan hukum tanah tahun 1918
  Dimasa ini petani hanya memiliki kewajiban dan tidak mempunyai hak sama sekali. Semua yang hidup di luar istana adalah abdi Sultan yaitu Kawulo Dalem. Seorang kawula dalem sanggup dan setuju menggarap tanah bagi penguasa, dia diperkenankan mengambil separoh dari hasil panen untuk diri sendiri dan keluarganya.

b.      Antara tahun 1918-1951
            Di masa ini para petani mempunyai kewajiban dan hak. Seiring dengan dihapuskannya “sistem tanam paksa”.  Program land reform telah diterima ditahun 1912 atas dasar bahwa kaum tani tidak boleh hanya dibebani dengan berbagai kewajiban akan tetapi mereka juga harus diberi hak-hak.

c.       Masa ketika pajak tanah mulai dihapuskan yaitu tahun 1951
Dalam perekonomian sektor pertanian pada masa ini belum memberikan sumbangan yang berarti. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan, diantaranya: Luas tanah milik sangat terbatas, sehingga perluasan usaha tani juga terbatas, Kewajiban-kewajiban yang bersifat paksanaan atas kaum tani bukannya berkurang, karena kewajiban lama ditambah dengan kewajiban kewajiban kerja gotong-royong baru untuk kepentingan desa.

Beda dengan daerah Yogyakarta, Lombok semakin mendapat tempat khusus di bidang pertanian dan perdagangan, terutama sejak Gunung Tambora, yang berada di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Pulau Sumbawa, meletus dahsyat tahun 1815. Lekker (1920) menyebutkan, tahun 1839 Lombok menjadi produsen kapas berkualitas baik, kayu Sepang, dan beras. Pada tahun itu, tercatat sedikitnya 18.000 ton beras dikeluarkan dari Lombok untuk dikirim ke Jawa, Madura, dan Makassar, bahkan sampai ke Mauritius dan Cina.

Komoditas perdagangan dari sektor pertanian tidak bisa lepas dari peran Lombok Barat bagian timur. Topografi yang datar dan diapit bukit serta gunung di bagian utara dan selatan, cocok untuk pengembangan hortikultura dan perkebunan. Didukung lahan pertanian 107.429 hektar, pertanian tanaman pangan menjadi andalan, dan pada tahun 2001, tanaman pangan menyumbang Rp 362,4 milyar, menduduki posisi pertama kegiatan perekonomian.

Untuk masyarakat Bali sendiri, mengenal organisasi pengairan yang disebut subak. Subak adalah kesatuan dari pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari satu sumber atau bendungan tertentu. Pengembangan sektor pertanian di Bali mengalami perkembangan yang cukup pesat selama empat pelita pertama terutama setelah dilakukannya penerapan teknologi modern di bidang pertanian tanaman pangan.

Pada tahun 1974, propinsi Sulawesi Utara memiliki hamparan dataran yang cukup potensial untuk pertanian dan perkebunan yang masih dalam tahap pendatang, tetapi sekarang wilayah-wilayah itu sudah menjadi lahan pertanian yang subur dan telah memegang peranan penting dalam perekonomian daerah. Sejak Pelita I dan Pelita V sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar sumbangannya dalam pembentukan pendapatan daerah.

Demikian pula peranan dalam penyerapan tenaga kerja. Kendati semakin lama peranannya berangsur-angsur menurun tetapi sektor pertanian masih belum dapat digantikan oleh sektor lainnya. Pembangunan pertanian selama Pelita I sampai Pelita IV menunjukkan hasil yang menggembirakan baik dilihat dari skala pengesahaan maupun produktivitas. Di dukung berbagai program seperti intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi serta pembangunan prasarana irigasi, perkembangan masing-masing subsektor terus meningkat seperti tercermin dari semakin luasnya areal tanaman perkebunan, semakin banyaknya jumlah rumah tangga petani yang terlibat dalam usaha tani secara luas.

Untuk jangka panjang, peluang pengembangan wilayah masih sangat terbuka dimana orientasi produksi untuk tujuan ekspor bagi komoditi-komoditi yang memiliki daya saing kuat dapat dijadikan prioritas.

Propinsi Sulawesi Tengah, sebelum tahun 1974, kondisi pertanian penduduk terbatas sekali. Pada periode itu sekitar 45 persen dari jumlah penduduk Sulawesi Tengah (tahun1971 berjumlah 913.662 jiwa) menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman kelapa.

Penguasaan tanah di Sulawesi Tengah, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
ü  Tanah yang dikuasai oleh masyarakat merupakan tanah-tanah yang telah diwarisi secara turun temurun, baik yang dikuasai oleh perorangan maupun komunal desa (tanah adat), ada pula lahan yang dikuasai oleh masyarakat karena kebijakan pemerintah misalnya lahan yang dicadangkan untuk lokasi transmigrasi, lahan perkebunan, dan lain-lain.
ü  dan Tanah yang dikuasai oleh negara, meliputi kawasan hutan (kawasan Tata Guna Kesepakatan) dan tanah-tanah lainnya untuk pembangunan kepentingan umum, seperti jalan-jalan, kuburan, sekolah dan lain-lain.


Baca Juga:

Sumber:

Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad