Sub sektor pertanian di Indonesia cukup beragam seperti yang dijelaskan
oleh Soetrisno (2002, hlm. 12) “pertanian Indonesia tidak hanya terdiri atas
sub-sektor pertanian dan subsektor pangan, tetapi juga, sub-sektor peternakan,
dan sub-sektor perkebunan”. Sub-sektor perkebunan merupakan sub-sektor
pertanian yang secara tradisional merupakan salah satu penghasil devisa negara.
Hasil-hasil perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor antara
lain: karet, kelapa sawit, teh, kopi, dan tembakau. Sebagian besar tanaman
perkebunan tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat, sedangkan sisanya
diusahan oleh perkebunan besar, baik milik pemerintah maupun swasta.
Menurut Banoewidjojo (1983, hlm. 20) “di Indonesia pengertian pertanian
dalam arti kata luas dititik beratkan terutama pada produksi yang dihasilkan
seperti bila produksi utamanya kayu menjadi kehutanan, bila produksinya ikan
akan menjadi perikanan, bila produk utamanya ternak menjadi peternakan, bila
produksi utamanya tanaman industri menjadi perkebunan dan khusus buat pertanian
rakyat, maka titik berat ditekankan pada usaha tani rakyat di pedesaan”.
Oleh
karena rakyat di pedesaan mempunyai beraneka ragam usaha, bukan saja
mengusahakan tanaman untuk pangan, akan tetapi juga lain-lain jenis produksi seperti ikan, ternak, tanaman industri dan
kayu-kayuan. Maka kegiatan sehari-harinya akan menyangkut juga kelima sektor
pertanian. Oleh karena itu muncullah kemudian istilah-istilah seperti
perkebunan rakyat, karet rakyat, kopi rakyat, hutan penduduk/rakyat dan
sebagainya. Dengan cara penggolongan pertanian dalam arti kata luas ke dalam
lima sektornya atas dasar jenis-jenis produksi yang dihasilkan, maka cara
pengusahaannya sudah barang tentu berbeda-beda, tergantung .dari kemampuan yang
mengusahakan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah.
Kartodirjo dan Suryo (1991, hlm. 4) menjelaskan bahwa “perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian
komersial dan kapitalistik, diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian dalam skala
besar dan kompleks, bersifat padat modal, penggunaan areal pertanahan luas,
organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja secara rinci, penggunaan tenaga
kerja upahan, struktur hubungan kerja yang rapi dan poenggunaan teknologi
modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman
tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi eksport di pasaran dunia”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
menjelaskan bahwa perkebunan adalah “segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”. Perkebunan
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta
penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;
2. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon,
penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
3. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkebunan
merupakan kegiatan usaha dalam bidang pertanian dalam skala besar yang mengusahakan tanaman tetentu untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Di Indonesia perusahaan-perusahaan pertanian yang penting dan yang sudah
mempunyai sejarah yang lama adalah perkebunan (plantation), yang
mengusahakan tanah-tanah yang luas berdasarkan hak-hak perusahaan tertentu.
Keseluruhan tanah dan bangunan pabrik serta perumahan-perumahan pegawai, buruh
dan pimpinan perkebunan pada satu tempat tertentu disebut estate.
Menurut Mubyarto (1989, hlm. 21) “Perkebunan atau plantation, tidak
hanya dikenal di Indonesia tetapi di banyak negara lain. Namun begitu pada
umumnya perkebunan ini didapatkan di daerah-daerah bermusim panas di dekat
katulistiwa dan karena menggunakan sistem manajemen seperti pada perusahaan
industri dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari teknologi terbaru maka
sering pula disebut “industri perkebunan” atau industri perkebunan”.
Sejarah perkebunan asing di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dengan
pengundangan Hukum agraria oleh pemerintah Kolonial Belanda dan negeri-negeri
Eropa Barat lainnya menanam modalnya di Indonesia. Hak-hak usaha yang diperoleh
para penanam modal tersebut terkenal dengan nama hak-hak erfpacht yang
meliputi jangka waktu maksimum 75 tahun dengan luas maksimum 360 hektar (900 acres).
Hak-hak lain yang dapat diberikan kepada orang-orang asing adalah hak opstaal
untuk mendirikan bangunan-bangunan pabrik untuk usaha dan hak eigendom terutama
untuk rumah-rumah tempat tinggal. Walaupun perkebunan asing mulai berkembang
pesat di Indonesia sesudah tahun 1870, tanaman-tanaman perkebunan sebenarnya
sudah ditanam oleh rakyat di dalam sistem tanam paksa yang dimulai di Jawa
sesudah selesai perang Dipenogoro pada tahun 1830.
Pelaksanaan sistem perkebunan menurut Sadjad (1995, hlm. 14) dimulai dengan
pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, pemanfaatan tanah dan tenaga
kerja di daerah jajahan. Dari berbagai artikel yang dikeluarkan oleh pemerintah
kolonial banyak perusahaan yang mengelola hasil-hasil perkebunan. Salah satunya
adalah yang dikembangkan di pulau Jawa, karena selain tanahnya subur dan cocok
untuk tanaman perkebunan, di Jawa juga tersedia tenaga kerja yang banyak dan
murah.
Tanaman perkebunan untuk agro-bisnis yang memproses bahan industri
misalnya: karet, tembakau, cengkeh, kapas dan rosela dan serai wangi. Adapun yang menghasilkan bahan
makanan untuk bahan industri makanan misalnya, ialah kelapa, kelapa sawit dan
coklat. Bahan makanan yang langsung kita makan misalnya:gula dari tebu, teh,
kopi dan kayu manis. Pembangunan agro-industri hendaknya dapat menyerap tenaga
kerja, karena itu perkebunan tersebut dibangun di tempat-tempat yang padat
penduduknya, misalnya di Pulau Jawa. Sebaliknya, perkebunan memerlukan lahan
yang luas, lebih tepat diusahakan di pulau-pulau yang belum padat penduduknya.
Usaha perkebunan di Indonesia cukup beragam, seperti yang di jelaskan
Kartodirjo dan Suryo (1991, hlm. 135) Berdasarkan tanaman yang diusahakan
(ditanam), perkebunan dapat dibedakan menjadi:
1. Perkebunan tebu
2. Perkebunan kopi
3. Perkebunan teh
4. Perkebunan coklat
5. Perkebunan rempah-rempah, seperti: perkebunan pala, perkebunan lada, dan
lain-lain
6. Perkebunan karet
7. Perkebunan kelapa sawit
8. Perkebunan kina
9. Perkebunan tembakau, dan
10. Perkebunan kapas
Jenis perkebunan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
bagian. Semangun (1989, hlm. 2) mengklasifikasikan jenis perkebunan berdasarkan
pengelolaannya, terdiri atas 3 bagian yaitu :
1. Perkebunan Negara
Yaitu perkebunan yang diselenggarakan atau dikelola secara komersial oleh
negara.
2. Perkebunan Swasta
Yaitu perkebunan yang diselenggarakan atau dikelola secara komersial oleh
pihak swasta nasional atau asing.
3. Perkebunan Rakyat
Yaitu usaha tanaman perkebunan yang diselenggarakan atau dikelola secara
komersial oleh perusahaan perseorangan yang tidak berakte notaris/ tidak
berbadan hukum
Hasil-hasil pembangunan sub-sektor perkebunan yang telah dicapai hingga
saat ini adalah pencerminan dari kebijaksanaan, strategi serta langkah-langkah
yang diambil oleh pemerintah/Direktorat Jenderal Perkebunan.
Menurut Departemen Pertanian (1978, hlm. 128) keberhasilan pembangunan
sub-sektor perkebunan banyak pula dibatasi oleh berbagai faktor, apabila
dihubungkan dengan usaha pemasaran produk-produk perkebunan di pasaran
internasional. Diantaranya, adalah goncangan-goncangan harga, hambatan
perdagangan berupa “tariff dan non-tariff”, pergeseran-pergeseran dalam luas
pasaran internasional sebagai akibat dari naik turunnya produksi negara konsumen,
persaingan antar negara produsen hasil perkebunan dan lain-lain. Goncangan-
goncangan pemasaran yang demikian itu tentu membawa akibat yang luas dan
kompleks, diantaranya adalah akibat pada usaha peningkatan produksi, dan yang
pada akhirnya berakibat pula pada tingkat pendapatan yang diterima petani
pekebun serta usaha swasta dan negara di bidang perkebunan.
Dalam bidang usaha peningkatan produksi perkebunan, masalahnya antara lain
menyangkut modernisasi usaha rakyat, diversifikasi, peremajaan, efisiensi
perusahaan, penekanan ongkos produksi, dan lain-lain. Meskipun banyak hambatan
yang dijumpai, prospek pembangunan perkebunan tidaklah begitu suram dimasa
depan mengingat kemajuan-kemajuan yang banyak dicapai dalam pengembangan
industri dalam negeri terutama yang mengolah hasil-hasil perkebunan,
kemajuan-kemajuan industri di negara konsumen, usaha-usaha yang terus dirintis
dalam bidang kerjasama antara negara produsen hasil perkebunan untuk menjamin
peningkatan pemasaran internasional.
Usaha-usaha yang telah dirintas/dilaksanakan dalam pelita II Menurut
Departemen Pertanian (1978, hlm. 128) masih perlu ditingkatkan, diantaranya
yang menyangkut usaha-usaha terpadu melalui sistim unit manajemen proyek dan
sistim perkebunan inti (NES) untuk lebih memodernisir usahatani perkebunan
rakyat dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Bagi perkebunan besar masuh
diperlukan adanya peningkatan efisiensi manajemen perusahaan, peningkatan
penertiban dan pengawasan serta peningkatan produktivitas penekanan biaya produksi.
Dalam
usaha-usaha perbaikan itu, sudah barang tentu perlu selalu dijaga kelestarian
sumber alam, diantaranya dengan mempertahankan dan meningkatakan fungsi
hidro-orologis tanah sehingga usaha peningkatan produksi perkebunan dan
kelestarian lingkungan tetap dapat dipertahankan berjalan sejajar.
Baca Juga:
Peran Subsektor Perkebunan dalam Perekonomian
Peran Perkebunan Kakao Bagi Perekonomian Nasional
Sumber:
http://repository.upi.edu/15690/1/S_GEO_1001467_Chapter2.pdf
Comments
Post a Comment