Menurut Susila (2004), subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor
yang mengalami pertumbuhan paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun
produksi. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2.6% per
tahun pada periode tahun 2000-2003, dengan total areal pada tahun 2003 mencapai
16.3 juta. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet,
kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet dan
kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya dengan
laju pertumbuhan diatas 5% per tahun.
Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya
berkaitan dengan tingkat keuntungan penguasahaan komoditas tersebut relatif
lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal
komoditas tersebut. Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi produsen utama
kakao dunia, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao
dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara
baik.Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk
pengembangan kakao, yaitu lebih dari 6,2 juta ha terutama di Papua, Kalimantan
Timur, Sulawesi Tengah,Sulawesi Tenggara, dan Maluku (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Disisi lain situasi perkakaoan dunia
beberapa tahun terakhir sering mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia
stabil pada tingkat yang tinggi.
Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik untuk segera dimanfaatkan.
Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar
ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum
tergarap. Menurut Goenadi (2005), dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif
stabil dan cukup tinggi maka
perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut
dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun dapat
memberikan produktivitas yang tinggi. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi
produsen utama kakao dunia dapat menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut
total areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan
mampu menghasilkan 1,3 juta ton/ tahun biji kakao.
Wayang (2004), mengungkapkan peran strategis lain dari subsektor perkebunan
dalam isu global yang perlu mendapat perhatian adalah kontribusinya dalam
ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula merupakan produk perkebunan yang
mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan. Negara-negara maju
seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha memaksimalkan tingkat produksi
pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui, ketahanan
pangan merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan nasional.
Subsektor perkebunan memiliki posisi yang tak bisa diremehkan. Dengan
orientasi pasar ekspor, perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan dalam
menyumbang devisa. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah
produk-produk dimana lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor.
Hingga tahun 2004, subsektor perkebunan secara konsisten menyumbang devisa
dengan dengan rata-rata nilai ekspor produk primernya mencapai US$ 4 miliar per
tahun.
Nilai tersebut belum termasuk nilai ekspor produk olahan perkebunan, karena
ekspor olahan perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian Arham, (2009).
Sukanda (2003), mengungkapkan usaha sektor perkebunan memegang peranan
strategis dalam mendukung perekonomian Indonesia melalui kegiatan ekspor hasil
primer perkebunan yang memberikan kontribusi kepada Negara berupa pemasukan
pupuk dan dividen, dan secara langsung maupun tidak langsung keberadaan
perusahaan, perkebunan besar turut serta dalam upaya-upaya pengembangan wilayah
yang secara nyata berdampak terhadap kemajuan masyarakat baik secara ekonomi
maupun sosial.
Susila (2004), mengungkapkan subsektor perkebunan juga berperan penting
dalam hal isu lingkungan yang merupakan isu global yang secara konsisten
gaungnya semakin menguat.
Pengembangan komoditas perkebunan diareal yang marginal merupakan wujud
kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan/ konservasi.
Sebagai contoh. pengembangan tanaman teh di daerah pegunungan dengan kemiringan
yang tajam dengan kondisi lahan yang kritis, berperan penting dalam konservasi
lingkungan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga
memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan,
pengembangan komoditas karet dalam bentuk agroforestri serta pemanfaatan kayu
karet sebagai pengganti kayu dari hutan primer merupakan kontribusi lain
perkebunan karet dalam konservasi lingkungan.
Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga
merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.
Selanjutnya, pemanfaatan CPO sebagai bahan baku biodiesel juga merupakan bentuk
lain dari pengembangan perkebunan dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
Pada masa mendatang. kontribusi ini akan semakin strategis ketika cadangan
minyak bumi yang dimiliki semakin menipis serta harga minyak yang mulai
meningkat.
Menurut Goenadi (2005), perluasan areal pengembangan kakao saat ini ada
kecenderungan terus berlanjut dengan laju perluasannya rata-rata tumbuh 2 % -
2,5 %/tahun, akan tetapi ada masalah serangan penggerek buah kakao (PBK) yang
cendrung terus meluas. Oleh karena itu perlu upaya rehabilitasi untuk
meningkatkan potensi kebun yang sudah ada melalui perbaikan bahan tanaman
dengan teknologi sambung samping atau penyulaman dengan bibit unggul. Tetapi
apabila upaya rehabilitasi tidak memungkinkan, maka perbaikan potensi kebun
dapat dilakukan melalui peremajaan.
Kedua kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kebun-kebun
kakao yang sudah dibangun petani. Dengan melakukan berbagai upaya perbaikan
tersebut, maka perluasan areal perkebunan kakao diharapkan terus berlanjut.
Pada priode 2005- 2010, areal perkebunan kakao diperkirakan masih tumbuh dengan
laju 2,5 % - 3 %/tahun sehingga total areal perkebunan kakao diharapkan menjadi
1.105.430 ha dengan total produksi 730.000 ton.
Susila (2004), mengungkapkan bahwa peran subsektor
perkebunan yang semakin strategis, pengembangan subsektor perkebunan masih mengalami
beberapa kendala dan hambatan yang perlu segera diatasi.
Pertama, kebanyakan tanaman perkebunan yang ada
adalah tanaman yang sudah tua sehingga produktivitas rendah. Di sisi lain,
upaya untung melakukan replanting masih mengalami masalah, terutama dari
sisi pendanaan.
Kedua pengembangan subsektor perkebunan juga
masih menghadapi masalah yang berkaitan dengan HGU, baik itu mencakup luasan
maupun masa berlaku HGU yang dinilai masih teralu pendek untuk perkebunan
dengan siklus produksi sekitar 30 tahun.
Ketiga, masih adanya konflik tanah dan sosial
antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar merupakan masalah yang
juga perlu segera diatasi.
Keempat, pengenaan PPN pada produk perkebunan juga
dinilai sebagai salah satu hambatan dalam pengembangan subsektor perkebunan.
Kelima, belum adanya semacam cetak biru
pengembangan subsektor perkebunan juga dinilai sebagai salah satu hambatan
dalam pengembangan bisnis perkebunan.
Baca Juga:
Sumber:
Comments
Post a Comment