Harga pada produk pertanian


         Harga merupakan cerminan interaksi dari penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah tangga (sebagai sektor konsumsi) dan sektor industri (sebagai sektor produksi). Sebagai cerminan kekuatan-kekuatan pasar, pemerintah tidak selalu dapat mengendalikan mekanisme penetapan harga atas komoditi tertentu. Dalam pasar persaingan sempurna, mekanisme harga merupakan jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan masalah perekonomian, tetapi pada kenyataannya struktur pasar yang benar-benar sempurna tidak pernah terwujud. Oleh karena itu, agar tercapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih merata, campur tangan pemerintah dalam penentuan harga terutama untuk komoditi-komoditi yang menyangkut hajat hidup orang banyak sangat diperlukan (Hanafie, 2010).

         Harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari barang tersebut. Oleh karena itu, untuk menganalisis mekanisme penentuan harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan maka perlu dilakukan analisis permintaan dan penawaran atas suatu barang tertentu yang terdapat di pasar. Keadaan suatu pasar dikatakan seimbang apabila jumlah yang ditawarkan penjual pada suatu harga tertentu adalah sama dengan jumlah yang dimintapara pembeli pada harga tersebut. Harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah ditentukn dengan melihat keadaan ekuilibrium dalam suatu pasar. Keadaan ekuilibrium tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Sukirno, 2005).

        Dalam grafik yang sangat sederhana dapatlah digambarkan terjadinya harga keseimbangan sebagai akibat dari perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran. Apabila harga berada diatas harga keseimbangan maka jumlah barang yang ditawarkan lebih besar dari pada jumlah yang diminta, barang-barang tidak laku dan menumpuk sehingga terpaksa harga diturunkan. Sebaliknya kalau harga berada dibawah harga keseimbangan maka jumlah barang yang ditawarkan lebih sedikit daripada jumlah barang yang diminta sehingga pembeli saling berebut, persediaan barang segera menipis dan harga akan naik lagi (Mubyarto, 1989).


        Harga yang terjadi di pasar merupakan perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran. Tetapi dalam kenyataan terdapat harga pada tingkat petani dan konsumen disamping harga pedagang. Pembentukan harga yang murni terjadi pada tingkat harga pedagang besar karena hanya pada tingkat ini terdapat persaingan yang agak sempurna dan pada umumnya penjual dan pembeli memiliki pengetahuan yang baiktentang situasi pasar pada suatu waktu tertentu. Harga eceran dan harga pada tingkat petani biasanya tinggal memperhitungkan dari harga perdagangan besar  yaitu dengan menambah dan mengurangi dengan apa yang disebut margin pemasaran (Mubyarto, 1989).

        Harga hasil-hasil pertanian cenderung mengalami naik turun yang relatif besar. Harganya bisa mencapai tingkat yang tinggi sekali pada suatu masa dan mengalami kemerosotan yang sangat buruk pada masa berikutnya. Sifat perubahan harga seperti itu disebabkan karena penawaran atas barang-barang pertanian seperti juga permintaan adalah tidak elastis, yang artinya persentase perubahan harga jauh lebih besar daripada perubahan jumlah barang yang diminta ataupun ditawarkan (Sukirno, 2002: 50).

        Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah tenggang waktu antara menanam dengan memanen (gestation period). Dengan demikian hasil yang diperoleh petani didasarkan pada prakiraan-prakiraan di masa mendatang serta pengalaman di masa lalu. Pada kebanyakan komoditas pertanian, harga output tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam. Petani harus mengambil keputusan-keputusan produksi berdasarkan pengalaman masa lampau. Perkiraan petani itu dilakukan berdasarkan pengalaman di masa lampau. Hal ini mengacu pada adanya beda kala (lag) antara dua periode, yaitu saat menanam dan panen. Respon petani terjadi setelah beda kala sebagai dampak perubahan harga input, output dan kebijakan pemerintah. Jika terjadi peningkatan harga beras atau gabah maka tidak segera diikuti oleh peningkatan produktivitas dan areal karena keputusan alokasi sumberdaya telah ditetapkan pada saat sebelumnya, hal ini menurut Tomek dan Robinson (1990) disebut asset fixity (kekakuan aset).

         Jika petani memperkirakan bahwa peningkatan harga ini akan berlangsung terus pada periode berikutnya barulah petani mengubah komposisi inputnya pada masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut baru terlihat pada periode tanam berikutnya. Jika praduga adanya ekspetasi demikian dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik antara harga harapan dengan harga masa lalu dapat dibuat (Colman dan Young, 1990), sehingga model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis antara lain oleh Nerlove melalui model penyesuaian parsial. Nerlove (1958) berpendapat para petani di setiap periode merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Dengan kata lain, petani menyesuaikan perkiraan harga di masa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara perkiraan dengan kenyataan. Petani tidak akan dapat segera menyesuaikan kegiatan produksi mereka sebagai respon setelah adanya stimulus pasar. Hal ini terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

1.       Secara psikologis, adanya hambatan untuk segera melakukan perubahan karena telah terbiasa dengan perilaku lama. Di sini muncul faktor kelembaman (inersia) dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan. Misalnya saja orang tidak akan segera meningkatkan konsumsinya begitu terjadi kenaikan pendapatan mereka karena penyesuaian untuk meningkatkan konsumsi ini memerlukan waktu. Dalam bidang pertanian kelembaman ini juga terjadi, misalnya jika terdapat perubahan yang melibatkan adopsi teknologi baru yang secara tradisional tidak diusahakan.
2.       Perlunya penyesuaian parsial karena adanya kendala kelembagaan seperti kuota produksi dan ketersediaan sarana pendukung berupa kredit usahatani. Jika terjadi perubahan harga faktor produksi maka petani memerlukan waktu untuk melakukan subtitusi input dan hal ini membutuhkan tenggang waktu (gestation period).

        Adanya kendala kelembagaan seperti adanya kontrak/perjanjian, maka selama masa kontrak pihak yang terlibat harus mentaatinya, dalam hal pertanian alokasi sumberdaya baru dapat dilakukan setelah kontrak selesai.


                  Kebijakan Harga Komoditas Pertanian




Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad