Harga merupakan salah satu
indikator kinerja pasar, termasuk pada komoditas pertanian. Kementerian
Perdagangan sebagai instansi pemerintah memiliki peran yang penting dalam
menciptakan iklim perdagangan komoditas pertanian yang efisien dan memperhatikan
kepentingan produsen dan konsumen. Dalam Renstra tahun 2010 – 2014 disebutkan
bahwa stabilisasi harga merupakan salah satu sasaran kerja Kementerian dan
harga merupakan indikator penentuan kebijakan. Oleh karena itu, teori tentang
kebijakan harga merupakan hal yang penting untuk diuraikan.
Pada sektor pertanian,
kebijakan harga merupakan instrumen penting untuk memberi dukungan bagi
produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, dalam beberapa literatur dikenal
istilah price support sebagai instrumen dalam penerapan kebijakan harga
komoditas pertanian. Namun pada dasarnya, kebijakan harga komoditas pertanian (agricultural
price policy) memiliki tujuan untuk melindungi produsen dan konsumen. Kebijakan
harga untuk melindungi produsen diterapkan dalam bentuk harga dasar (price
floor) sedangkan kebijakan harga untuk melindungi konsumen diterapkan dalam
bentuk harga atap (price ceiling).
McTaggart D, Findlay C, dan
Parkin M (2009) menjelaskan bahwa kebijakan harga merupakan salah satu langkah
yang diambil ketika harga yang terbentuk di pasar tidak berada dalam kondisi
normal akibat kegagalan pasar (market failure). Dalam hal ini, kebijakan harga
merupakan intervensi regulator (pemerintah) sehingga harga yang terbentuk tidak
dalam titik equilibrium. Pada beberapa negara berkembang seperti di India,
kebijakan harga pertanian biasanya diikuti dengan pembenahan kelembagaan
sebagai instansi teknis penerapan kebijakan harga (Acharya, 2009).
Kebijakan Harga Dasar (price floor)
McTaggart et al (2009)
menjelaskan bahwa harga dasar (price floor) merupakan harga yang ditetapkan di
atas titik equilibrium. Tujuan penetapan kebijakan harga dasar adalah untuk
melindungi produsen dari penurunan harga jual yang berdampak pada kerugian.
Secara konsep, terdapat dua jenis kebijakan harga dasar, yaitu:
a) Harga minimum yang
ditetapkan secara sah dalam bentuk peraturan oleh pemerintah (legal floors)
dimana harga komoditas yang dijual produsen ditentukan batas minimal-nya. Dalam
hal ini, pemerintah melalui regulasi menetapkan harga minimum suatu komoditas.
b) Dukungan program oleh
pemerintah dimana pemerintah melakukan intervensi dengan melakukan sejumlah
pembelian komoditas pertanian hingga tercapai harga yang diinginkan. Hal ini
umumnya dikenal dengan istilah price support program.
Kebijakan harga dasar dapat
mendistorsi pasar yang memaksa harga yang terbentuk di atas titik equilibrium.
Sebagai akibatnya, harga yang dibentuk tidak berdasarkan mekanisme pasar
sehingga timbul inefisiensi. Secara umum, kebijakan harga dasar akan
menimbulkan kehilangan (deadweight loss) bagi seluruh pelaku pasar serta
menimbulkan surplus penawaran.
Kebijakan harga dasar juga
menimbulkan dampak lain dimana besarnya tergantung pada jenis kebijakan harga
dasar. Jika kebijakan harga dasar yang diambil adalah jenis yang pertama (legal
floors), maka beberapa dampak yang timbul antara lain sebagai berikut:
a) Inefisensi alokasi
penjualan diantara produsen. Dalam pasar yang tidak terdistorsi, alokasi
penjualan antar produsen akan dipengaruhi oleh marginal
cost masing-masing produsen.
Semakin kecil marginal cost suatu produsen, maka tingkat efisiensi yang
dimiliki produsen tersebut semakin baik sehingga dapat menjual produk lebih
cepat dibandingkan dengan produsen yang memiliki marginal cost yang relatif
lebih tinggi. Dengan adanya legal floors, hal tersebut dapat diminimalisir
karena seluruh produsen memiliki harga minimum yang sama. Hanya saja
inefisiensi alokasi penjualan akan tetapterjadi di antara produsen yang
menerima kebijakan floor price dengan yang tidak.
b) Kebijakan harga dasar legal
floors menimbulkan sumberdaya yang terbuang (wasted resources). Kasus upah minimum
merupakan contoh yang mudah dipahami bahwa pencari kerja akan mengoptimalkan
sumberdayanya untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan upah minimum yang
ditetapkan semetara tidak semua perusahaan mampu menyerap seluruh tenaga kerja
pada tingkat upah minimum.
c) Legal floors pada dasarnya
merupakan bagian dari peningkatan kualitas secara tidak efisien karena
regulator (pemerintah) menentukan harga minimum namun tidak menjamin kualitas
produk yang dijual.
d) Legal floors akan membuka
peluang terciptanya pasar illegal (black market) dimana pemain pasar (misal broker)
dapat menjual produk yang dibeli berdasarkan harga minimum dan menjualnya ke
pasar umum untuk mendapatkan margin yang tinggi.
Sedangkan jika kebijakan yang
diambil adalah price support program, maka beberapa dampak tambahan yang
ditimbulkan antara lain sebagai berikut:
a) Pemerintah harus membeli
kelebihan produksi sehingga jika tidak disertai dengan efisiensi kelembagaan
seperti pergudangan, maka dapat mengakibatkan pemborosan (wasted resources)
b) Price support program umumnya
menyebabkan kebijakan pemerintah menjadi meluas seperti intervensi tambahan
pada sisi produksi. Hal ini akan semakin mendistorsi pasar.
c) Dana yang dibutuhkan
relatif besar dan dibebankan pada pajak. Dalam hal ini, pembayar pajak
seolah-olah melakukan pembayaran ganda (double tax)
yaitu pajak untuk pembelian
kelebihan produksi dan harga komoditas yang relatif lebih tinggi dari harga
pasar.
Kebijakan Harga Atap (Price
Ceiling)
McTaggart et al (2009)
menjelaskan bahwa harga atap (price ceiling) merupakan harga yang ditetapkan di
bawah titik equilibrium. Tujuan penetapan kebijakan harga atap adalah untuk
melindungi konsumen dari kenaikan harga yang berdampak pada penurunan daya
beli. Secara umum, kebijakan harga atap akan memberikan disinsentif bagi
produsen sehingga berpotensi menimbulkan kelangkaan produk di pasar, dengan
asumsi tidak ada impor.
Sedangkan beberapa dampak
tambahan dari kebijakan harga atap adalah sebagai berikut:
a) Harga atap akan menyebabkan
terbuangnya sumberdaya (wasted resources) terutama dari pihak konsumen yang
akan mengeluarkan sumberdaya lebih untuk memperoleh barang yang terbatas.
b) Kualitas barang akan
menurun karena pada umumnya produsen merasa rugi dengan tingkat harga yang
dibatasi di bawah harga pasar
c) Harga atap akan membuka
peluang terciptanya pasar illegal (black market) dimana pemain pasar (misal broker)
dapat membeli produk berdasarkan harga
minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk mendapatkan margin yang tinggi.
d) Harga atap akan menimbulkan
inefisiensi alokasi bagi konsumen karena harga yang terbentuk tidak berdasarkan
penilaian konsumen (harga pasar).
Walaupun harga atap dapat
merugikan konsumen, namun secara agregat konsumen akan tetap diuntungkan dari
harga yang relatif rendah. Gambar 2.3 menunjukkan bahwa secara agregat surplus
konsumen akan lebih besar dibandingkan dengan surplus produsen.
Sumber:
Analisis Kebijakan Harga Pada Komoditas Pertanian. Oleh Miftah Farid, Bagus Wicaksena, Yati Nuryati, Dwi W. Prabowo, Asih Yulianti, Avif Haryana. PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
Comments
Post a Comment