Permasalahan Pertanian - Kondisi Lahan Pertanian di Indonesia, Masalah Dari Petani Sendiri dan Mentalitasnya, Masalah Teknologi
Dalam
pengembangan sektor pertanian di negara kita, kita tidak bisa begitu saja
menutup mata dan mengabaikan setiap kendala yang terjadi karena dalam setiap
usaha pasti menemui batu kerikil yang menjadi penghambat dalam kemajuan. Begitu
pula yang kita lihat pada sektor pertanian di Indonesia banyak sekali kendala
atau faktor yang menjadi penghambat dalam pengembangan sektor pertanian
misalnya seperti ketersediaan lahan, keterbatasan modal, kondisi iklim yang
kurang mendukung dan lain-lain. Perlu kita kaji demi penemuan solusinya dalam
penuntasan masalah tersebut. Berikut beberapa penjelasan umum mengenai problema
yang menghampiri para petani di Indonesia yang terperinci sebagai berikut:
Kondisi Lahan
Pertanian di Indonesia
Luas
kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani di Indonesia rata-rata kecil
mengingat harga tanah yang semakin mahal sedangkan kemampuan para petani untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah minim ditambah harus membeli lahan
yang harganya semakin melonjak. Yang memungkinkan hanya bisa menggarap lahan
milik orang lain sehingga hasilnya pun harus dibagi dua.
Semakin
sempitnya lahan untuk bertani karena penyebaran pembangunan gedung-gedung
industry yang bertambah jumlahnya disetiap lokasi. Hal ini tentunya dapat mengurangi wilayah para petani untuk bercocok tanam.
Sedangkan kebutuhan manusia akan pangan semakin meningkat tidak diimbangi oleh
ketersediaan lahan dan pembangunan gedung-gedung industry yang tidak terencana
tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.
Sedangkan pada daerah-daerah pedalaman masih banyaknya “Lahan Tidur”
yang artinya lahan tersebut belum tergarap maupun tersentuh oleh tangan-tangan
manusia sementara lahan disuatu wilayah strategis cenderung menjadi rebutan
dengan harga yang mahal. Ini mencerminkan bahwa penyebaran penduduk diwilayah
Indonesia yang belum merata.
Banyaknya
lahan para petani yang belum bersertifikat menambah dampak buruk bagi masa
depan para petani yang menyebabkan terjadinya persengketaan antara pihak petani
dan pihak yang mencoba merampas hak milik petani dimana posisinya memanfaatkan
kesempatan pada lahan yang belum berlabel pemilik. Bahkan kerap terjadi
persengketaan antara petani dengan pihak pemerintah dalam kepemilikan lahan.
Masalah Dari
Petani Sendiri dan Mentalitasnya
Pendidikan
formal petani yang masih rendah menyebabkan pengetahuannya dalam pengembangan
sektor pertanian tidak berkembang dan cenderung monoton hanya menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian tanpa menciptakan inovasi-inovasi terbaru demi
peningkatan hasil pangan yang berlimpah. Hasil panen yang tidak seberapa
menyebabkan petani tidak memiliki modal dalam pengembangan usahanya ini menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan para petani kurang sejahtera di
wilayah Indonesia. Serta menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia,
sementara 50 juta penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani.
Kaum petani
cenderung menggantungkan hidupnya pada pemerintah dan lebih bersikap pasrah
pada kondisi kehidupannya pada saat ini. Seharusnya mereka lebih meningkatkan
jiwa kewirausahaanya dalam pengembangan sector usaha diberbagai bidang dan jangan
hanya terpacu pada sector pertanian yang hasilnya diperoleh pada periode dan
musim-musim tertentu.
Masalah
Teknologi
Sistem
pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern dalam pengelolaan
pangan,belum mampu diterima secara luas oleh para petani yang lebih banyak
menggunakan peralatan tradisional seperti : cangkul, arit, dll. Yang pada
kenyataannya lebih banyak memakan waktu dan tenaga. Dibanding menggunakan
peralatan dan teknologi modern yang telah diterapkan dinegara- negara luar.
Penerapan teknologi di negara kita terkadang kurang tepat pada sasaran dimana
disatu sisi peralatan teknologi tersebut mampu membantu dan meningkatkan
kualitas pangan tetapi disisi lain peralatan tersebut merusak ekosistem yang
ada tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.
Disini perlu
adanya sebuah penyuluhan besar-besaran dalam penyampaian informasi serta
pendidikan bagi para petani dalam pengambangan buduaya pertaniannya serta
peragaan alat pertanian yang berteknologi modern sehingga mampu meningkatkan
hasil panen para petani demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat banyak serta
pensejahteraan kehidupan para kaum petani di wilayah Indonesia. Perlu pula
adanya pengkajian ulang terhadap kebijakan para pemerintah disektor pertanian
guna penggalangan dana dalam peningkatan sector pertanmian di Indonesia agar
memberikan fasilitas yang layak dan tepat bagi para petani dalam pengeloaan
lahannya.
Menurut
Sitorus (2005:48), sumberdaya lahan (land resource) adalah lingkungan fisik
yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada
di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini
lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Sumberdaya lahan
merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia
karena sumberdaya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia. Penggunaan
sumberdaya lahan khususnya untuk aktifitas pertanian pada umumnya ditentukan
oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan, dan untuk penggunaan daerah
industri, pemukiman dan perdagangan ditentukan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak
sumberdaya lahan dari pusat pasar.
Lahan yang
sesuai untuk pertanian di kawasan non rawa terdapat seluas 86,2 juta ha yang
terdiri atas lahan yang sesuai untuk sawah 21,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 24,8 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan
39,7 juta ha. Meskipun lahan yang sesuai cukup luas, tetapi sebagian besar
telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik di sektor pertanian dan non
pertanian.
Secara
tabular, luas lahan pertanian di Indonesia 70,2 juta ha (BPS, 2008;
www.bps.go.id) sehingga lahan potensial (sesuai) yang tersisa sekitar 23,9
juta ha sebagai lahan pertanian cadangan. Diantara lahan pertanian seluas 70,2
juta ha tersebut terdapat lahan terlantar yang sementara belum diusahakan
seluas 11,3 juta ha, sehingga total cadangan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk
pengembangan pertanian diperkirakan seluas 35,2 juta ha. Namun penyebaran lahan
tersebut belum diketahui, karena itu diperlukan data spasial (Irianto, 2008:29).
BBSDLP (2008)
mendefinisikan lahan potensial untuk pertanian dan lahan tersedia untuk
pengembangan pertanian. Lahan potensial untuk pertanian adalah lahan yang
secara biofisik terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika,
kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian. Sesuai
atau cocok berarti lahan tersebut secara teknis-agronomis mampu mendukung
pertumbuhan tanaman dan/atau perkembangan ternak secara optomal. Jika lahan
tersebut dikelola dengan baik tidak akan mengganggu kelestarian sumberdaya dan
lingkungan. Lahan potensial belum mempertimbangkan aspek sosial dan hukum,
seperti status kepemilikan lahan dan peruntukannya, namun sudah
mempertimbangkan penetapan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Lahan
tersedia untuk pengembangan pertanian adalah lahan potensial (sesuai) secara
fisik untuk pertanian yang saat ini belum dimanfaatkan baik untuk pertanian maupun
non pertanian, yaitu lahan yang ditumbuhi oleh alang-alang atau semak belukar.
Sama dengan lahan potensial, lahan tersedia juga belum mempertimbangkan status
kepemilikan, baik secara adat maupun undang-undang agraria. Oleh sebab itu
lahan potensial dan lahan tersedia dapat berada pada kawasan budidaya yang
dapat berupa lahan basah (sistem sawah) dan lahan kering yang sudah diusahakan,
atau berada pada kawasan budidaya hutan (hutan produksi atau hutan konversi,
hutan tanaman industri atau kawasan Hak Pengusahaan
Hutan), baik yang dikelola Perhutani dan Perkebunan Negara maupun swasta).
Pasaribu (2007:67)
berpendapat bahwa bidang pertanian memiliki korelasi positif dengan kedaulatan
dan ketahanan pangan. Namun secara faktual terdapat beberapa permasalahan
krusial dan menjadi isu serius di negara kita, yaitu antara lain:
(a) Kemampuan
Indonesia di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri relatif
telah dan/atau sedang menurun cukup signifikan,
(b) Indonesia
berada dalam keadaan sedang “rawan pangan”, bukan karena tidak ada pangan,
tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari supply luar
negeri dan ketergantungannya semakin besar dan
(c) Kurangnya
daya dukung sektor pertanian yang komprehensif, termasuk di dalamnya ketersediaan
lahan pertanian.
Masalah lahan
pertanian terutama pertanian pangan diantaranya berakar dari masalah rendahnya
nilai land rent lahan-lahan pertanian. Setiap jenis penggunaan lahan (pertanian
dan non pertanian) memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis penggunaan
lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas
penggunaan lahan terbesar, sehingga penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan
untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Demikian juga dengan
penggunaan lahan pertanian, meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin
kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan materi atau
finansial dibandingkan dengan sektor industri, pemukiman dan jasa lainnya
sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak dapat dicegah (Rustiadi
dan Wafda, 2008 dalam Aviciena).
Kelangkaan
sumberdaya lahan bersangkut paut dengan pertumbuhan penduduk dan persaingan
permintaan (competing demands) terhadap lahan. Ada kecenderungan di masyarakat
negara-negara berkembang termasuk indonesia bahwa sebagian kelebihan daya beli
pada golongan masyarakat berpenghasilan tinggi disalurkan dalam bentuk
investasi pada lahan/tanah (Sitorus, 2004:49).
Alih fungsi
lahan adalah sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran
terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru
dengan karakteristik sistem produksi yang berbeda. Fenomena alih fungsi lahan
adalah bagian dari perjalanan transformasi struktur ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut
ruang yang lebih luas ke arah luar kota bagi berbagai aktifitas. Sebagai
akibatnya wilayah pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah
beralih fungsi (konversi) menjadi lahan nonpertanian dengan tingkat peralihan
yang beragam antarpriode dan wilayah (Dahuri dan Nugroho, 2004:73).
Diperlukan
sebuah aturan/regulasi yang dapat menekan dan mengendalikan laju alih fungsi
lahan, sehingga lahan-lahan pertanian yang ada dapat terlindungi dari kegiatan
alih fungsi. Permasalahan tersebut semakin diperparah
dengan kenyataan terjadinya konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan
yang kian masif. Sementara keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin
dan pencetakan lahan sawah baru relatif kecil. Padahal ketersediaan lahan untuk
usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor
pertanian secara berkelanjutan (sustainable agriculture) (Pasaribu, 2007).
Kedaulatan
pangan adalah hak manusia, komunitas dan negara untuk mendefinisikan kebijakan
pertanian, tenaga kerja, perikanan, pangan dan lahan yang sesuai secara
ekologi, sosial, ekonomi dan budaya mereka. Esensi dari kedaulatan pangan
diharapkan tidak memiliki ketergantungan dengan pihak lain. Untuk dapat
menjamin kedaulatan pangan di indonesia, salah satu isu penting adalah
ketersediaan lahan yang saat ini dianggap sudah kritis. Krisis sumberdaya lahan
ini ditandai dengan turunnya kualitas lahan (pertanian), konversi lahan
pertanian (yang lebih cepat dari pertambahan lahan pertanian baru), lahan per
petani yang semakin sempit (fragmentasi lahan), akumulasi penguasaan lahan pada
sedikit pihak, keterbatasan lahan vs peningkatan kebutuhan untuk pangan dll,
dan reformasi agraria yang belum berjalan.
Sistem
keterkaitan konversi lahan dengan berbagai komponen sistem ketahanan pangan
nasional merupakan sistem dengan keterkaitan yang sangat kompleks. Kebijakan
yang terkait dengan pengendalian konversi lahan pada sisi produksi pangan
ditentukan oleh luas lahan produksi dan produktivitas lahan, sedangkan luas lahan produksi pertanian ditentukan oleh pengembangan
atau pemeliharaan irigasi dan pembukaan, pencetakan lahan baru yang selanjutnya
ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial yang belum dikembangkan dan lahan
pertanian kering serta kebijakan perencanaan zonasi/tata ruang/sistem
keagrariaan. Ketersediaan lahan pertanian kering akan mempengaruhi kegiatan
konversi lahan pertanian. Selanjutnya sistem produktivitas lahan ditentukan
oleh kapasitas SDM pertanian dan fragmentasi lahan pertanian yang selanjutnya
menentukan land rent lahan pertanian dan pendapatan petani (Rustiadi dan Wafda,
2008:39).
Pembangunan
dan pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan
penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Kebijakan pelestarian lahan
pertanian akan efektif, jika dapat mempengaruhi dan meningkatkan nilai land
rent dalam empat cara, yaitu:
(1) Dapat
meningkatkan nilai produktif lahan pertanian,
(2) Dapat
menstabilkan, mengurangi, atau menghilangkan nilai konsumtif atas lahan
pertanian,
(3) Dapat
menghilangkan nilai spekulatif lahan pertanian yang tidak efisien, yang bisa
terjadi hanya jika nilai spekulatif dihubungkan dengan dampak situasi
perkotaan, tidak efisiennya subsidi pembangunan perkotaan, dan kurang
menghargai penyediaan barang publik sumberdaya lahan dan
(4) Dapat
menghilangkan sindrom kefanaan, yaitu ketidakpercayaan di kalangan petani pada
sektor pertanian.
Baca Juga:
Sumber:
Comments
Post a Comment