Tantangan Pembangunan Hortikultura dan Isu Strategis Pembangunan Hortikultura





Tantangan Pembangunan Hortikultura

        Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, maka pembangunan hortikultura 5 tahun ke depan tidak luput dari berbagai tantangan.

Adapun tantangan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Daya saing (produktivitas dan mutu hasil, efisiensi proses produksi, penerapan prinsip ramah lingkungan, harga, dan ketersediaan pasokan),

b. Kegiatan pemuliaan dan perlindungan varietas,

c. Pertumbuhan industri di bawah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang kondusif,

d. Penyediaan lahan baru hortikultura, pembangunan infrastruktur, sistem irigasi (irigasi permukaan, drip dan sprinkle irrigation), listrik, dan fasilitas lainnya,

e. Pengelolaan rantai dingin yang efisien dan efektif dari lahan produksi ke bandara ataupun pusat-pusat pemasaran,

f. Penurunan ketersediaan sumberdaya dan akses modal investasi,

g. Mendorong kebijakan investasi yang kondusif, termasuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi di semua lini,

h. Menciptakan dan memelihara keterkaitan/aliansi strategis secara lokal, regional dan internasional,
i.  Pencapaian MDGs yang mencakup pengentasan kemiskinan, pengangguran dan kelaparan serta kelestarian lingkungan.
    
j. Krisis global finansial yang menyebabkan permintaan menurun,

k. Jasa kargo dan biaya pengangkutan,

l. Pengembangan ekspor,

m. Rezim perdagangan internasional, tariff barrier dan non tariff barrier (technology and administrative barrier),

Isu Strategis Pembangunan Hortikultura 2015 – 2019

1. Pengendalian Inflasi

        Menurut kajian Kemenkoekuin pada bulan Juni 2013 diketahui bahwa beberapa komoditas hortikultura seperti cabai dan bawang merah berkontribusi positif pada inflasi nasional (cabai berkontribusi 0,08%; petai dan cabai rawit 0,02; jengkol, kentang dan wortel berkontribusi sebesar 0,01%). Kondisi ini selalu terjadi setiap tahun yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan dengan pasokan. Hal ini telah menjadi perhatian dari presiden RI dimana pengembangan hortikultura ditujukan pengendalian inflasi.

        Ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan dapat dikendalikan dengan : peningkatan produksi pada bulan-bulan kelangkaan produk, penataan rantai pasok, serta pengendalian ekspor impor produk hortikultura. Dengan demikian pembangunan hortikultura harus dapat menjawab fluktuasi nasional secara terpadu dan komprehensif.

2. Peningkatan kemampuan substitusi impor.

        Berdasarkan data statistik hortikultura 5 tahun terakhir diketahui adanya peningkatan impor untuk beberapa komoditas hortikultura. Peningkatan impor disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : selera konsumen, komoditas yang belum bisa diproduksi di dalam negeri, performa produk impor lebih baik, distribusi yang belum merata, Untuk mengatasi tingginya impor dapat dilakukan melalui : inovasi teknologi, market intelligance, keterpaduan dukungan dari semua pihak, meningkatkan produksi, meningkatan mutu dan performance beberapa komoditas yang dapat mensubstitusi produk impor (apel disubstitusi dengan jambu kristal, jeruk mandarin dengan jeruk keprok atau yang berwarna jingga).

        Kemampuan substitusi impor akan berkontribusi pada penyelamatan devisa serta keberlanjutan agribisnis hortikultura nusantara.

3. Pembangunan hortikultura ramah lingkungan.

         Peningkatan gaya hidup telah merubah preferensi konsumen terhadap produk hortikultura yang berkualitas dan mereka telah memikirkan keamanan konsumsi.

        Isu ini menjadi perhatian dalam pengembangan hortikultura karena tidak terkendalinya penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida, pupuk, bahan pengawet lainnya di dalam proses produksi dan pascapanen hortikultura.

        Pengembangan hortikultura ke depan harus berorientasi pada pengembangan yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan biopestisida, agensi hayati, pupuk organik, serta konservasi lahan.

4. Pemanfaatan hasil kreatifitas, inovatif dan kearifan lokal.

        Inovasi teknologi hortikultura dapat dihasilkan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Hal ini memudahkan penerapan inovasi teknologi yang aplikatif pada masyarakat, karena tidak perlu merubah kebiasaan dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk menerapkannya.

        Banyak kearifan lokal di Indonesia yang terbukti unggul dalam mengatasi berbagai permasalahan dibudidaya hortikultura. Namun demikian, kearifan lokal tersebut belum didokumentasikan dan didiseminasikan keseluruh wilayah produksi secara merata. Oleh karena itu, pembangunan hortikultura ke depan harus mengakomodir potensi pengembangan kreatifitas inovasi teknologi berbasis kearifan lokal.

5. Peningkatan kecintaan dan apresiasi terhadap produksi hortikultura nusantara.

        Keberlanjutan pembangunan hortikultura nusantara juga dipengaruhi oleh rasa kecintaan konsumen khususnya dalam negeri terhadap produk-produk hortikultura dalam negeri.

        Dampak dari globalisasi dan informasi juga turut membentuk preferensi masyarakat Indonesia dalam mencintai produk-produk hortikultura dari negara lain. Hal ini dapat menyebabkan kondisi mati surinya semangat petani hortikultura dalam negeri untuk melanjutkan agribisnis hortikultura di masa yang akan datang.

        Oleh karena itu, pembangunan hortikultura ke depan tidak hanya berorientasi pada produksi, pasar, namun juga harus dapat meningkatkan kesadaran konsumen Indonesia untuk gemar mengkonsumsi produk hortikultura dalam negeri dibandingkan produk impor.

6. Kemitraan usaha hortikultura yang tangguh.

         Salah satu penyebab lemahnya daya tawar petani adalah lemahnya fungsi dari kelembagaan petani. Dengan adanya kelembagaan yang kuat yang dapat membantu kelompok tani dalam beragribisnis melalui polapola kemitraan.

         Kemitraan dapat membantu petani dalam merancang pola produksi hingga pemasaran. Dengan demikian pembangunan hortikultura ke depan harus memperhatikan pola peningkatan kemitraan untuk menciptakan petani hortikultura yang mandiri dan tangguh.


Baca Juga:



Sumber:

Comments

Post Page Ad

mid ad

Bottom Ad